24. Takdir Cinta 2

97 18 16
                                    

Pov Lesti.

.
.
.
.
.
.
.

Seharusnya aku sedang berbahagia dengan dia. Menuju hari yang kami impikan untuk saling memiliki. Setelah dia berhasil memperbaiki diri. Setelah hubungan kami membaik. Setelah memastikan dia adalah yang terbaik untuk aku.

Berita yang kudapat siang ini tentang dia seolah panah yang menusuk jantungku. Sakit tak terperi sampai membuat nyeri di syaraf - syaraf tubuh. Pria pilihanku itu dipanggil keharibaan Allah.

Billar dikabarkan meninggal dalam kecelakaan dalam perjalanan bersama teman - temannya menuju ke daerah lain. Aku tidak tahu persis apa tujuannya ke sana, karena dia tidak memberi penjelasan saat akan pergi. Dia hanya berkata ingin jalan dengan temannya.

Aku membaca pesan - pesan yang dia kirimkan. Semuanya tak memberi tanda satupun bahwa dia akan pergi. Bahkan kami masih asyik membicarakan masa depan yang begitu indah setelah pernikahan kami terjadi. Dan apa ini, kabar yang hadir justru kabar kematian, kematiannya.

"Bang Bi."

Kedua lututku lemas melihat tubuh terbujur kaku di antara lingkaran manusia yang membacakannya ayat - ayat Tuhan. Rasanya tidak mungkin, dan aku berharap tidak mungkin jika itu dia. Meskipun sudah di depan mataku.

"Bang Bi."

Perlahan aku berjalan mendekati jasad itu. Tanganku bergetar menurunkan kain putih yang menutup wajahnya.
Tatapanku nanar melihat bekas - bekas luka di sekujur tubuhnya. Kepala terkhusus matanya pun masih berbalut perban. Kabarnya kerangka kepala calon suamiku itu bocor menghantam setir mobil dan pecahan kaca. Ah, masihkah bisa kusebut calon suami. Tetapi kenapa dia pergi?.

"Bang."

Aku berusaha menahan diriku untuk tidak meraung histeris melihat keadaannya.

"Kenapa Bang Bi ninggalin dede."

Hancur, wajah tampan itu hancur. Tangan yang biasa memeluk hangat padaku itu tak berdaya lagi. Lenyap bersama senyum tengil yang biasa ia tampilkan di depanku.

"Dede sabar ya."

Sentuhan hangat dari Papa Billar membuat keluhku tertahan. Aku berbalik, membalas pelukannya dengan erat sambil terus menangis.

"Kita harus ikhlas, Nak. Biar Bi bisa kembali dengan tenang."

"Pa, dede belum sempat memenuhi semua impian kami. Dia pergi Pa."

Memanggil Papanya pun sekarang membuatku sesak. Kenapa begini?.

"Takdir nak. Kita harus sabar."

Kedua orangtuaku yang tadi berdiam di belakang pun ikut mendekat. Mengusap punggung Papa Billar dan diriku. Pelukan kami pun merenggang, dan aku beralih memeluk ayahku sendiri.

"Pak, Bang Bi pergi Pak. Dia ninggalin Dede."

"Iya Nak. Kamu sabar ya."

Aku tidak sanggup bersuara lagi. Napasku rasanya tercekat. Lidahku kelu. Hanya suara sesenggukan kuat yang terdengar dariku.

"Duduk ya. Kita baca doa sama - sama. Sebentar lagi prosesi pemakaman akan dimulai," terang Papa Billar.

Aku hanya mengangguk lemah mengikuti langkah bapak dan Mamah yang menuntunku duduk. Telingaku terus menghayati doa lantunan para pelayat yang hadir. Kebanyakan dari mereka merunduk sedih. Mungkin memang yang pergi ini adalah seorang yang baik, atau karena hal lainnya.

Pandanganku kabur membaca ayat - ayat di tanganku. Yaa Allah, bolehkah aku minta dia kembali. Sejenak saja. Agar aku bisa membuat dia tersenyum sebelum dia menutup mata selamanya.

Cinta KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang