9. Bereave

6.8K 905 62
                                    


"Berhenti, kak. Mama sedang menuju kemari, kalau kau mengejar Renjun. Mama akan curiga akan hubungan kalian." Jaehee menarik lengan jaket sang kakak.

Langkah Jeno langsung terhenti, matanya menatap Jaehee yang kini menunduk sambil menetralkan deru napasnya setelah tadi menyampaikan emosinya dengan membentak Renjun.

"Aku akan ke kamar mandi sebentar." Perempuan itu meninggalkan Jeno yang kini hanya bisa meremas rambutnya dengan frustasi, ia khawatir akan kondisi Renjun. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa untuk sekarang, tidak jika ia masih ingin melindungi Renjun dari kemarahan orangtuanya. Karena sungguh, jika Jaehee saja bisa semurka itu, bagaimana dengan orangtuanya.

Jeno hendak kembali ke kamarnya, saat mendengar suara mamanya yang memasuki apartemennya. Ah, benar ucapan Jaehee. Kalau tadi ia memutuskan keluar, pasti ia akan dicerca banyak pertanyaan karena berani meninggalkan apartemen disaat mamanya sedang berkunjung.

"Ma, apa barusan melihat seorang gadis yang memakai sepatu yang sama denganku?" Tiba-tiba terdengar suara Jaehee yang berteriak pada sang mama.

Nyonya Lee menduduki sofa ruang tengah apartemen Jeno, sambil mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan si bungsu. "Tidak. Mama tidak berpapasan dengan siapapun saat hendak kemari. Apalagi gadis yang memakai sepatu yang sama denganmu."

Diam-diam Jaehee menghela napas lega mendengar mamanya tak bertemu siapapun tadi, berarti Renjun pun tak dilihat mamanya.

"Kenapa memang? Kau tidak mau lagi memakai sepatu itu, karena ada yang menyamaimu?" Terka Nyonya Lee. Kemudian matanya menangkap kotak obat-obatna di meja, dan beberapa bekas makanan yang cukup banyak. Jeno tak mungkin makan sebanyak ini.

"Jeno, kau tadi kedatangan seseorang?"

"Tadi ada teman Jeno berkunjung sebentar." Jawab Jeno asal, ia melirik Jaehee yang mencoba mengalihkan perhatian mama dari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan semakin banyak.

Tapi Nyonya Lee tak mudah terkecoh oleh Jaehee, maka ia tetap bertanya pada si sulung. "Tunggu, kau sakit Jeno?" Wanita itu menunjuk kotak obat yang ada.

"Aku tadi meminta vitamin dari kakak." Kali ini Jaehee yang menyahut.

Adik dari Lee Jeno itu, kini mulai bertanya-tanya juga dalam benaknya. Kenapa ada kotak obat disana, jika kakaknya terlihat sehat-sehat saja. Lalu, apa Renjun yang sakit? Masalahnya tadi Jaehee juga tak mendapat perlawanan apapun dari Renjun. Dan jika benar Renjun sedang sakit, Jaehee benar-benar khawatir. Apalagi tadi ia begitu kasar padanya.

Sebenarnya Jaehee marah pada Renjun bukan karena ia tak menyukai jika Renjun bersama kakaknya. Hanya saja, Jaehee takut jika nanti Renjun akan jauh lebih sakit hati saat mendapat penolakan dari keluarganya mengenai hubungan Renjun dan Jeno. Jaehee sudah bisa membayangkan semenentang apa mama dan papanya tentang hubungan itu, mengingat latar belakang keluarga Renjun yang tak jelas.

Jaehee tak mau Renjun mendapat segala makian dan ancaman dari orangtuanya, Jaehee takut Renjun kecewa nantinya. Jaehee menyayangi Renjun, dan ia hanya berniat melindungi Renjun dari murka orangtuanya. Maka tadi pun, ia sengaja membentak Renjun agar cepat pergi. Karena jika Renjun tetap disini, mamanya akan tau hubungan Renjun dengan sang kakak. Dan sudah bisa dipastikan, mamanya akan jauh lebih berani menyakiti Renjun dari padanya tadi.

.
.
.

Keesokan harinya Jeno datang ke rumah Renjun, untuk memastikan kondisi kekasihnya itu. Semalaman ia tak bisa menghubungi submisif cantik itu, karena bahkan ponsel Renjun tertinggal di apartemennya.

"Kau sudah baik-baik saja?" Jeno menatap Renjun penuh kekhawatiran, sementara Renjun hanya menatap Jeno datar.

"Apa ini sebab kau selalu menyembunyikanku?" Tanya Renjun sambil menatap lekat dominan di depannya ini.

Semalaman Renjun pun memikirkan hal ini, dan kenapa bisa-bisanya ia melupakan fakta bahwa keluarga Jeno bukanlah mereka yang sembarangan menambah orang dalam lingkup mereka. Meskipun Renjun yakin jika ia mengatakan tentang identitas aslinya dan ayahnya kepada keluarga Jeno, pasti keluarga Jeno akan menerimanya dengan baik. Tapi saat ini bukan seperti itu keadaannya, Renjun hanya lelaki yang hidup sendirian dengan identitas yang ditutup rapat oleh ayahnya. Dan jelas respon keluarga Jeno jika tau hubungan mereka akan seperti Jaehee semalam. Renjun sudah mendapat gambarannya.

Agaknya ia menyesal karena terlalu terlena akan segala sikap Jeno padanya, akan segala cinta yang ia rasakan untuk Jeno. Hingga melupakan kemungkinan yang akan terjadi ke depannya.

Renjun ingin mengulang waktu, agar ia tak menerima Jeno sebagai kekasihnya. Agar tak mau dikenalkan Jaehee pada kakaknya, agar tak memutuskan untuk berteman dengan Jaehee, agar tak bisa mengenal dan bertemu Jaehee. Dan agar tak menjadi anak dari seorang pria yang menolak mengakuinya.

"Maaf, Renjun. Maaf,," Jeno menciumi seluruh wajah Renjun, submisif itu hanya duduk diam di depannya.

"Jaehee tak akan membocorkan tentang hubungan kita dulu pada mama dan papaku. Tidak sebelum aku siap mengenalkanmu pada mereka." Jeno menggenggam tangan Renjun, ada keinginan untuk memaksa Renjun agar mau menceritakan tentang keluarganya. Agar hubungan mereka tak perlu lagi dalam persembunyian, Jeno ingin dengan bebas menunjukkan afeksinya pada Renjun. Jeno ingin memberitahukan pada orang-orang seberapa ia mencintai Renjun.

Renjun yang paham akan arti tatapan Jeno, langsung bersuara. Tatapan itu sering ia dapat saat Jeno memancingnya untuk mengatakan mengenai siapa dirinya. "Aku hidup sendirian, Jeno."

Ia tak mau sampai membuat ayahnya marah dengan membocorkan siapa dirinya sebenarnya, hanya karena rasa cinta saja.

Mendengar ucapan Renjun, Jeno hanya bisa menghela napas. Kemudian memeluk tubuh Renjun. "Aku mencintaimu." Bisiknya dengan tulus.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Hari pertama ketidak hadiran Renjun di cafenya, Jaehee masih baik-baik saja. Lagi pula ia masih sedikit kesal pada Renjun, tapi di balik itu Jaehee masih menyimpan khawatir soal pemikirannya tentang Renjun yang sakit. Menanyakan pada kakaknya? Jaehee tak mau. Menghubungi Renjun pun tak Jaehee lakukan.

Namun, di hari kedua ini Jaehee mulai merasa ada yang salah akan ketidak hadiran Renjun di dekatnya. Ia kini duduk di kursi paling dekat dengan pintu masuk cafe, di hadapannya terdapat pastry buatannya yang menurutnya tak sebagus buatan Renjun. Ia menunggu kedatangan Renjun sejak pagi, namun orang yang ditunggu tak juga datang.

Ia merindukan Renjun, ia ingin memakan pastry buatan Renjun lagi. Ia ingin melihat senyum tulus Renjun, ia ingin mengobrol lagi dengan Renjun. Dengan tidak adanya Renjun disini, Jaehee merasa kosong. Ia kembali tak memiliki teman.

Jaehee harap Renjun baik-baik saja, dan akan kembali kemari dan berteman lagi dengannya.

Suara pintu cafe yang terbuka membuat Jaehee mendongak dengan cepat, mengira itu Renjun. Namun ternyata bukan. Jaehee melengos kecewa, ia begitu merindukan Renjun.

Kalau sampai Renjun datang lagi kesini, Jaehee bersumpah ia akan memohon maaf sambil menangis pada Renjun karena telah membentaknya kemarin malam. Ia akan melakukan apapun agar Renjun mau memaafkannya. Apalagi ia yang dengan tidak berperasaannya menyeret Renjun dengan kasar saat itu.

Ia tak akan membiarkan Renjun bekerja lagi di cafenya, Jaehee akan belajar membuat pastry sendiri. Dan tak membiarkan Renjun kecapean disini, Jaehee akan menebus segala sikap kasarnya kemarin malam dengan memperlakukan Renjun lebih baik lagi. Apapun, asal Renjun tetap mau bertemu dengannya dan berteman dengannya.

Unspoken Words ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang