Usia kandungan Renjun sudah masuk minggu ke lima, dan ia masih kerap merasakan mual bahkan disaat baru membuka mata. Padahal perutnya belum diisi makanan apapun, menjadikan Renjun jauh lebih merasa tersiksa akan perasaan tak nyaman itu.
Renjun mengerang lemas sambil meremas pelan perutnya, tiba-tiba tangan Jeno menahannya. Ganti mengusap perut Renjun yang belum menampakkan banyak perubahan itu. Usapan Jeno pada kulit perutnya begitu lembut, ditambah kecupan hangat Jeno pada pipinya membuat Renjun merasa lebih baik.
Saat tangannya menyentuh perut Renjun, ingatan Jeno selalu tertuju pada Liam juga. Mengingat ucapan anaknya itu saat pertama diberi tau kalau Renjun tengah hamil.
"Jangan nakal, nanti papa tidak mau usap perut baba. Jangan seperti Liam, nakal. Jadi papa tidak mau usap Liam waktu di perut baba."
Saat mendengar itu Jeno benar ingin mengulang waktu, ingin bisa memberi banyak afeksi pada Renjun yang masih mengandung Liam.
Sekarang mengingat itu, Jeno sesak lagi akan sakitnya semua penyesalan. Ia menelan salivanya, menekan kuat-kuat rasa ingin menangisnya. Tadi ia sudah menangis saat diingatkan oleh dokter kim kalau dulu Renjun jauh lebih kesulitan saat mengandung Liam, karena dibarengi stres yang disebabkan oleh Jeno juga.
Membayangkan itu semua begitu menyakitkan untuk Jeno, ia sekarang kalau menuruti perasanya ingin menangis mengingat Renjun hanya ditemani Liam saja sejak dulu.
Jeno yang merengkuh tubuh Renjun yang duduk di pinggir kasur, kini menelusupkan wajahnya pada sisi leher Renjun. "Jangan meremas perutmu seperti barusan, kulitmu akan memerah nantinya, kau bisa kesakitan bayinya juga." Suaranya pelan, menahan agar Renjun tak mendengar suara bergetarnya.
"Kalau mualmu begitu menyebalkan lampiaskannya padaku saja, jangan pada tubuhmu sendiri." Lalu Jeno meraih biskuit gurih yang ada di meja dekat ranjang, menyuapkannya pada Renjun dan berhasil.
Tapi beberapa detik kemudian Renjun sudah kembali memejamkan matanya, menahan gejolak di perutnya yang seolah menolak diisi makanan.
"Baba, Linlin bilang Liam tak boleh ambil gelasnya." Bocah itu memasuki kamar Jeno dengan kaki yang dihentak kesal.
Di belakangnya Ningning membawa nampan dengan teko dan cangkir untuk teh mint milik Renjun, tadi dokter Kim datang kemari dan membawakan itu untuk Renjun. Mengatakan bahwa itu bisa sedikit mengurangi rasa mual pada diri Renjun.
Renjun tersenyum melihat keberadaan Liam, ia mengisyaratkan putranya untuk ikut naik ke atas ranjang. "Sekarang mana Linlin nya?" Renjun memangku tubuh Liam ke pahanya, ia ingin mendapat pelukan hangat dari putranya itu.
"Pulang." Kepala Liam mendongak kecil karena Renjun memainkan wajah lucu putranya itu, dari membelai wajahnya lembut hingga mencubit gemas hidung mungilnya.
Ningning menyodorkan cangkir teh yang sudah diisi, dan malah Liam yang langsung ribut menerimanya. Ningning melarangnya. "Jangan, nanti tumpah kena baju baba."
"Ningning, jangan nakal. Liam yang mau berikan teh nya baba." Mata anak itu menatap Ningning, halisnya menukik tak mau dibantah.
Akhirnya setelah Renjun meminta Ningning menuruti permintaan Liam, cangkir itu kini berada ditangan mungil Liam dengan Renjun juga yang membantunya.
"Terimakasih, Liam mau bawakan ini untuk baba." Renjun tersenyum pada Liam, dan anak itu pun tersenyum senang.
"Nanti Liam ambilkan lagi, ya?" Kata anak itu.
Renjun mengangguk. "Iya."
Jeno sebenarnya ngilu sendiri melihat Renjun yang tengah mengandung masih gemar memangku Liam, tapi tadi saat ia bertanya pada dokter Kim pun ia mengatakan tak apa selama tak menekan keras perut Renjun. Walau Jeno melihat sendiri Renjun yang menempatkan Liam tepat tanpa menekan area perutnya tetap saja Jeno khawatir.
"Mau suapi baba tidak? Dari tadi babanya belum makan." Jeno menyodorkan biskuit tadi pada Liam.
Menatap wajah Liam, Jeno tersenyum tipis. Anak yang kini sudah bisa menghibur Renjun dulu tak mendapat perhatian darinya saat dalam kandungan. Tangan Jeno kini ganti mengusap pipi gembil Liam. Anak itu menatap Jeno.
"Liam yang suapi?" Tanya anak itu pada Jeno.
Jeno mengangguk, kemudian Renjun menerima suapan dari Liam. "Bayi, jangan suruh baba keluarkan lagi makanannya." Itu perkataan Liam.
Ningning tak bisa menahan tawa kecilnya mendengar ucapan Liam pada perut Renjun. Liam yang mendengar itu langsung mendelik pada Ningning. "Kenapa berisik Ningningnya?"
"Liam juga berisik, teriak-teriak." Balas Ningning.
"Ih!" Pelototan Liam tak semenyeramkan itu.
Jeno mengusap punggung Renjun yang memeluknya, setelah makan malam tadi Renjun sempat merasakan lagi mual. Jeno menyarankan Renjun tidur lebih awal, tapi ia kukuh ingin menidurkan Liam dulu. Dan setelah Liam tidur baru Renjun mau berbaring di kasurnya, walau dengan erangan tak nyaman pada tubuhnya.
Merasakan tubuh Renjun jauh lebih lemas, Jeno meingintip wajah Renjun yang ternyata sudah tidur. Ia mengecup dahi Renjun lama, sebelum melepas pelukannya. Jeno berniat pergi ke kamar Liam.
"Liam?" Jeno membuka pintu kamar putranya itu, tak ada sahutan, karena Liam sudah tidur.
Jeno mendekati putranya yang tidur memeluk boneka rubahnya, ia menunduk untuk mencium pipi Liam. Lama ia berlutut di sisi ranjang anaknya, hanya untuk menatap wajah lucu itu.
"Liam, boleh tidak usapan sekarang itu dianggap ganti dulu papa tidak pernah usap Liam yang diperut baba?" Jeno bermonolog sambil mengusap kepala anaknya sayang.
Apa yang Jeno lakukan sekarang memang tak akan bisa mengganti yang ia lewatkan dulu, Jeno tau betul itu. Tapi ia juga tak bisa untuk mengenyahkan rasa ingin sedikitnya menutup kekecewaan Liam padanya.
Setiap mengingat cara anak itu bertanya soal usapan Jeno pada Liam saat masih di dalam kandungan, Jeno selalu sakit. Ia selalu bisa merasakan kekecewaan anaknya itu.
Jeno harap ia benar bisa mengobati kekecewaan anaknya itu, tapi dengan apa? Jeno jauh lebih nelangsa mengingat ia tak bisa mengganti luka Renjun dan Liam dengan apapun.
Setitik air mata keluar dari sudut mata Jeno, kepalanya terjatuh pada kasur Liam. Menangis dalam diam disana. "Liam, maaf." Jeno mencengkram kuat seprai, menahan agar suaranya tak mengganggu Liam.
Dirasa suaranya makin sulit dikendalikan, Jeno pilih keluar. Menuju ruang kerjanya yang agak jauh dari kamar Renjun serta Liam. Menangisi semua kesalahannya.
__________
Maaf, kemarin" ngilang akunya.