"Guanlin." Panggil Renjun begitu Guanlin mengambil tempat duduk di sampingnya, sementara Liam berada di pelukan Renjun dengan mata yang sudah terpejam tidur.Tadi saat Liam dan Guanlin sibuk dengan kue juga hiasan yang dibawa Guanlin, Jeno pamit pulang setelah menyerahkan cincinnya pada Renjun. Liam yang mendengar papanya akan pulang sempat merengek ingin mengantar Jeno, ingin bye bye sampai mobil papanya menghilang. Tapi Renjun melarangnya, mengatakan sudah mulai malam. Akhirnya Liam mau mengalah dan berakhir memeluk Renjun lama, kemudian jatuh tidur.
"Ya?" Guanlin merasakan kelegaan begitu Renjun mau kembali mengajaknya berbicara, setelah beberapa hari terakhir sempat terjadi kecanggungan tak jelas antara mereka.
"Mau aku pindahkan Liam?" Guanlin hendak meraih tubuh Liam, namun Renjun menggeleng. Ia hendak meminta pendapat? Guanlin soal Jeno.
"Aku belum memberitaumu soal Jeno." Kata Renjun memulai ceritanya dulu. "Kemarin aku bisa ke rumah Jeno karena ia menarikku kesana."
Guanlin mendengarkan.
"Jeno mengenalkanku pada mamanya, dan ternyata selama ini Liam sudah lebih dulu ia kenalkan pada keluarganya." Ujar Renjun, ia menatap Guanlin ingin melihat reaksinya.
"Apa Jeno benar ingin memperbaiki semuanya?" Tanya Renjun dengan perasaan tak yakin.
Guanlin belum mau menjawab, karena Renjun terlihat masih ingin menyampaikan sesuatu.
"Ia bilang akan melakukan apapun agar aku memaafkannya, ia bilang penyesalannya sangat besar atas sikapnya dulu pada Liam juga aku." Lanjut Renjun.
"Dan kau percaya atas sesalnya?" Guanlin akhirnya menanyakan itu.
Renjun diam sebentar, kemudian. "Mungkin, iya. Melihat ia terlihat begitu ketakutan saat aku sempat mengatakan tak akan membiarkan ia bertemu Liam lagi." Ia ingat soal pembicaraannya dengan Jeno begitu Liam keluar dari rumah sakit akibat cakaran kucing kala itu.
"Kau sudah memaafkannya?" Tanya Guanlin lagi.
Renjun menggeleng pelan. "Guanlin, saat Jeno menanyakan soal apa yang harus ia lakukan agar aku memaafkannya, aku menjawab menginginkan—matinya." Suara Renjun memelan di akhir kalimat.
Guanlin mengangkat halisnya, tak begitu terkejut mengingat bagaimana menderitanya Renjun dulu saat memutuskan lepas dari Jeno yang menginginkan bagian dari Renjun tak ada. Bisa saja benar bahwa semua rasa sakit Renjun akan hilang hanya ketika melihat kematian si pembuat luka.
"Jeno menyanggupinya." Kata Renjun mengingat bagaimana Jeno yang saat itu pasrah mendengar pintanya.
Kali ini, Guanlin cukup terkejut mendengarnya. Jeno benar akan memberikan nyawanya untuk menebus semua dosanya pada Renjun? Ini agak diluar dugaan menurut Guanlin. Karena mengetahui semua cerita Renjun soal diri Jeno dulu, Guanlin bisa menebak kalau Jeno orang yang penuh akan keegoisan.
Dan mau menyerahkan kematiannya untuk Renjun demi sebuah maaf, tak ada dalam bayangan Guanlin. Sama sekali.
"Itu hanya agar kau luluh dan kembali padanya?" Guanlin sendiri ragu akan pertanyaannya.
"Ia menatapku tanpa keraguan, entah raut putus asanya hanya ilusiku saja atau memang nyata. Tapi Jeno benar mengiyakan pintaku." Jawab Renjun.
"Dan kenapa ia masih hidup?" Guanlin meringis dalam hati, cara ia bertanya seolah tengah membicarakan hal sepele.
Renjun membuang napasnya pelan, harus ya ia mengatakan kalau cintanya pada Jeno tak pernah lenyap seluruhnya?
"Ia masih memilikinya, Guanlin." Lirih Renjun.