16. Our beloved

7.3K 905 93
                                    


Untuk yang kurang nyaman sama part 'Growth', aku minta maaf.

Karena emang tadinya aku gak ada niat bikin part itu, maunya setelah Renjun bilang ke ayahnya dia gak mau gugurin anaknya. Loncat ke part ini, part Liam udah gemes-gemesnya. Tapi setelah dipikir lagi, aku mau ceritain kehamilan Renjun juga. Walaupun singkat. Itulah kenapa alurnya part kemarin cepet.

Maaf karena gak kasih tau lebih awal.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Renjun rasa dengan adanya Liam, ia memiliki banyak alasan lagi untuk mengembalikan mentalnya. Ia memiliki penyembuh hati, ia terasa lebih banyak tersenyum dengan melihat tumbuhnya kesayangannya itu dalam penglihatannya. Ia begitu menikmati segala kehidupannya dengan Liam.

Ia mendapat 'peri kecil' yang membuat matanya yang sempat hilang binar kini kembali penuh kilauan.

"Liam, kemana?" Ningning mengernyit melihat bocah berusia empat tahun itu kini berlarian menuju dapur.

"Linlin!" Bukannya menjawab, bocah itu justru memanggil Guanlin yang tengah menatap layar laptop di hadapannya sambil sesekali menyuapkan menu makan siangnya.

Guanlin menoleh mendengar suara lucu itu. "Yes, little koala?" Ada alasan Guanlin memberi panggilan itu untuk putra kecil Renjun, Liam ini sering jika digendong orang. Memeluknya orang tersebut seperti seekor koala saat memeluk pohon.

Tangan kecil itu menunjuk kursi di dekat Guanlin. "Boleh bawakan ini kesana?" Lalu menunjuk lemari pendingin, tempat harta karun anak itu berada.

"Sure." Guanlin mengangguk, lalu memindahkan kursi itu sesuai permintaan Liam.

Liam tersenyum senang begitu ia bisa menaiki kursi itu, Guanlin juga sudah membukakan pintu lemari pendingin tadi untuk Liam. "Thankyou, Linlin."

Dengan cepat tangan kecil itu mengambil wadah berisi buah blackberry, dan berbalik menatap Guanlin yang masih berdiri di dekatnya.

Guanlin terkekeh geli, bocah di hadapannya ini selalu seperti ini. Ingin naik sendiri untuk mengambil cemilan manisnya, namun untuk turun dari sana akan meminta bantuan oranglain.

"Ayo, cuci dulu buahnya." Guanlin menggendong Liam, kemudian membawanya untuk membersihkan buah itu.

Sebelumnya, Guanlin sudah membawa mangkok untuk membersihkan buah tersebut. "Pindahkan dulu kesini."

Liam dengan semangat mulai mencuci buah tersebut, dan setelah selesai memindahkannya pada piring berdesain lucu miliknya.

"Linlin, mau?" Bocah itu menyodorkan satu blackberry manis itu ke hadapan Guanlin, namun lelaki itu menolak. Ia kembali duduk di kursinya tadi, setelah mendudukkan bocah laki-laki tadi di kursi yang ada hadapannya.

Anak itu memang menyukai segala jenis buah berry, apalagi blueberry dan blackberry.

"Kenapa baba lama?" Tanya Liam di tengah kegiatannya menikmati buah itu. Tadi babanya pamit pergi ke tempat kerjanya, dan bilang hanya sebentar tapi setelah beberapa jam babanya itu belum juga kembali. Membuat ia bertanya-tanya.

"Yes, dear. I'm here." Kedatangan seseorang yang Liam tunggu, disertai kecupan kilat di pipinya. Membuat Liam menoleh dengan cepat, melihat babanya kini duduk di sampingnya.

Pekikan senang itu terdengar. "Tadi Liam minta tolong Linlin bawakan kursi." Ujarnya, ia terbiasa memberitahukan segala kegiatannya saat sang baba tak ada di sampingnya.

Mengenai panggilan Liam untuk Guanlin, anak itu memang memiliki panggilan itu sejak mulai bisa berbicara.

"Lalu?" Renjun mengusap kepala sang anak dengan sayang.

"Sebelumnya Liam main di kamar sendirian, Ningning marah karena Liam ganggu tidurnya." Celotehnyaa lagi. Memang Renjun barusan melihat Ningning tiduran di sofa ruang tengah.

Ditengah kegiatannya mendengar celotehan sang anak, matanya melihat bagaimana di baju sang anak yang berwarna putih terdapat noda bekas buah blackberry.

"Kenapa nakal sekali? Sudah baba bilang, jangan mengelapkannya pada bajumu. Ada tisu di depanmu." Renjun dengan menunjuk noda yang ia maksud, ia juga menarik kotak tisu di dekatnya untuk diberikan pada Liam.

Liam mencebik mendengar ucapan Renjun, memang Renjun tak pernah memarahinya atau membentaknya. Segala peringatan yang Renjun berikan tak pernah diikuti suara keras, Renjun hanya mengeluarkan suara lembutnya namun dalam setiap kalimatnya terselip peringatan yang memang sering membuat Liam terdiam.

"Bukan Liam yang nakal, buahnya yang nakal. Lihat, tangan Liam juga kena." Bocah itu memamerkan seluruh jarinya pada Renjun, dan memang terdapat noda khas buah blackberry disana. Tapi ucapan anak itu cukup membuat ia dan Guanlin tertawa pelan.

"Benar, buahnya yang nakal. Liam anak baik." Ujar Renjun.

.
.
.

"Kenapa gambar yang ini tidak memiliki mulut?" Tanya Renjun pada Liam yang memang tengah menggambar.

Liam mendongak pada Renjun, kemudian melirik Ningning yang tengah berpura-pura fokus menonton.

"Ini itu Ningning, hari ini Ningning tidak tersenyum. Jadi Liam gambarnya juga tidak punya mulut." Ujarnya sambil menggambar tokoh lain dalam bukunya.

"Sudah minta maaf?" Bisik Renjun, saat melihat Liam masih belum terlihat bermain lagi dengan Ningning.

Bocah itu menghentikan aktifitasnya, agar bisa menatap babanya. Ia menggeleng pelan, sambil mengalihkan tatapannya ke sembarang arah.

Lalu Renjun memberi isyarat agar Liam segera meminta maaf, maka Liam dengan ragu mulai beranjak dari duduknya untuk mendekati Ningning. Ia juga sekalian membawa hasil gambarnya tadi.

"Ningning, tau tidak? Kali ini Linlin bukan orang pertama yang Liam kasih lihat gambar Liam. Sekarang Ningning dulu, baru Linlin." Suara anak itu berupa bisikan, masih takut kalau wanita di hadapannya ini marah.

Liam pun akhirnya dengan berani mengangkat buku gambarnya di hadapan Ningning, memperlihatkan bagaimana hasil gambarnya tadi.

Dari tadi pun Ningning memang sudah tak kesal pada bocah laki-laki itu, ia hanya berpura-pura marah ingin melihat bagaimana reaksi anak itu. Dan sekarang anak itu justru memperlihatkan hasil coretan tangannya, Ningning tau betul sepandai apa bocah itu dalam hal menggambar. Tapi kenapa kali ini gambar itu terlihat, kacau?

Gambar itu membuat tawa Ningning tak bisa ditahan lagi, pasalnya tokoh disana terlihat sangat jelek namun rambutnya dikuncir dua. Persis rambut Ningning saat ini. Juga, tokoh itu memang tak memiliki mulut. Seperti kata Renjun tadi.

Suara tawa Ningning membuat Liam ikut tersenyum. "Ningning, maaf Liam tadi ganggu tidur Ningning." Bocah itu membawa langkah kecilnya menghampiri wanita yang kini masih tertawa pelan melihat gambar itu.

"Iya, sudah dimaafkan. Kemari." Ningning menarik Liam dalam pelulannya, lalu sebelum bocah itu membalas pelukannya. Ningning mendapat kecupan manis di pipinya, dari Liam. Ah, anak itu tak pernah bisa membuatnya marah lama-lama.

"Kenapa gambarnya sejelek itu?" Ningning mengambil gambar Liam, dan menunjuk tokoh berkuncir dua itu.

"Tadi Ningning memang jelek, cemberut." Ujar bocah itu dengan suara lucunya. Ia juga memperagakan raut cemberut Ningning.

Unspoken Words ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang