"Liam, suka salju tidak?" Jeno agak heran melihat Liam yang seolah tak memiliki ketertarikan lebih begitu melihat salju yang mulai menutupi halaman belakang dengan warna putihnya.
Bukankah biasanya anak-anak begitu antusias ingin membuat boneka salju atau bermain segala hal dengan salju yang menumpuk? Tapi Liam tak seperti itu. Saat salju pertama turun saja anak itu mau sengaja keluar untuk menyentuh kepingan salju yang turun, itupun karena Renjun yang lebih dulu keluar maka bocah itu mengikutinya.
"Suka!" Jawaban Liam membuat Jeno makin mengerutkan dahinya, suara anak itu terdengar antusias.
"Kenapa tidak mau main?" Jeno menatap Liam yang tengah menggambar dengan pensil warna miliknya.
Liam tak menjawab apapun, hanya menggelengkan kepalanya. Jeno tak pernah mendengar larangan Renjun soal Liam yang bermain salju, jadi ia pikir ini hanya murni ketidak mauan Liam saja. "Kalau mau, papa temani."
"Papanya sakit tidak?" Liam mendongak menatap Jeno, kilat matanya menunjukkan ketertarikan yang terselip juga kekhawatiran.
Jeno bergumam bingung, ia sama sekali tidak sedang sakit. "Tidak."
Kali ini mata berbinar Liam benar-benar membesar karena senang, ia menoleh ke arah dapur. "Baba Liam boleh ya main salju dengan papa?"
"Boleh, sambil tunggu kuenya selesai. Nanti Liam bisa hias kuenya."
"Iya, iya." Anak itu segera bangkit dari posisinya, Jeno yang melihat itu jadi ikut tersenyum. Dengan segera ia memakaikan pakaian hangat pada Liam, kemudian mengajaknya menuju halaman belakang.
"Rumahnya shasha jadi putih." Anak itu terkekeh riang melihat rumah kecil milik anak anjing kini dipenuhi salju. Sementara shasha nya memang diungsikan dulu ke dalam rumah.
Tangan Liam kini mengumpulkan salju dalam genggamannya, membentuknya menjadi boneka salju sebisanya. Setelah jadi, anak itu memainkan tangannya dengan asal di atas salju. Tawa senangnya membuat Jeno diliputi hangat walau sedang dalam cuaca dingin sekalipun.
"Liam dengan baba dulu tak suka main salju?"
"Suka, tapi waktu itu babanya sakit. Liam paksa main, jadi baba jatuh." Tanpa disadari anak itu, bibirnya melengkung sedih mengingat babanya jatuh pingsan di hadapannya.
"Terus baba jadi larang Liam main salju?" Tanya Jeno lagi.
Liam menggelengkan kepalanya. "Tidak. Liam yang tak mau main."
Mendenhar jawaban Liam, mata Jeno menyorot sendu pada sosok yang kini kembali memainkan tumpukan salju di dekatnya itu. Liam ini dari kecil hanya bersama Renjun, terbiasa akan semua limpahan kasih sayang dari Renjun. Membuatnya tumbuh dengan kasih sayang yang besar pula untuk Renjun, seluruh raga juga pikiran dan hati anak itu memang terikat seerat itu dengan Renjun.
"Liam, kuenya jadi." Renjun mengetuk kaca di samping mereka dari dalam, Jeno yang mengerti gerak mulut Renjun langsung mengatakannya pada Liam. Dan segera memasuki rumah hangat itu, lagi pula mereka sudah lama bermain di luar. Jeno khawatir anak itu banyak menerima angin dingin.
"Ini minumnya Liam?" Liam menunjuk cangkir kuning kecil di dekat mangkok berisi marsmellow.
Renjun mengangguk. "Semuanya sama minum coklat panas hari ini."
Kemudian matanya melihat cangkir coklat milik Jeno. "Liam mau ini."
Jeno menggeser cangkirnya pada Liam. "Boleh."
Tapi baru juga tangannya meraih itu dan hendak mengangkatnya. "Tidak jadi, susah." Karena cangkir milik Jeno dan Renjun berukuran sedikit lebih besar dari milik anak itu.