31. Invite

1.4K 172 2
                                    

Mendengar dari Jeno saja soal ayahnya yang telah mengatakan segalanya tanpa keberatan, rasanya Renjun masih tak percaya. Apalagi hari ini, ia mendapati ayahnya benar ada di depan matanya dan meminta maaf atas segalanya. Renjun pikir dirinya hanya sedang bermimpi setelah kemarin melewati hari yang melelahkan.

Saking tak karuannya perasaannya Renjun sampai bermimpi ayahnya memeluknya dan memintanya jangan menangis, tapi usapan pada kepalanya menyadarkan Renjun kalau semuanya bukan sebuah ilusi. Ayahnya benar mengakui kesalahannya, mengatakan bahwa ia menyayanginya.

Air mata Renjun seolah tak ada habisnya, kemarin menangisi semua tentang Jeno. Sekarang ia menangisi soal ayahnya juga. Karena nyatanya memang dua orang itu yang memiliki andil besar dalam semua lukanya, Renjun banyak merasakan ketakutan karena mereka. Dan dalam waktu yang nyaris bersamaan keduanya meminta maaf pada Renjun.

Beratnya Renjun seolah hilang, tapi ganti sebuah pikiran tak percaya. Bahwa ia ternyata memiliki semua cinta itu, dan Liam pun tak akan kekurangan kasih sayang.

"Pulang ke rumah ya? Ayah ganti segala sikap buruk yang dulu kau sering dapat, jadi hal baik yanh harusnya kau terima sebagai anak ayah." Tuan Huang berdehem pelan, suaranya parau.

Renjun meremas pelan baju sang ayah. Sejak dulu, ia tak pernah merasa rumah milik ayahnya adalah tempatnya. Kalau pun Renjun sedang diizinkan pulang, ia tak pernah merasa nyaman yang harusnya ia dapat di sebuah tempat yang ia sebut rumah.

Setelah memiliki Liam, dari hanya makhluk tak berdaya di perutnya sampai tumbuh dan lahir jadi bocah mungil seperti sekarang. Renjun menganggap apartemen inilah rumahnya, yang melindunginya dan Liam selama ini.

"Aku dan Liam suka disini." Jawab Renjun ragu, ia takut jawabannya ditangkap sebuah penolakan mentah-mentah.

Tuan Huang mengangguk mengerti bagaimana pun di tempat ini Renjun mendapat kasih sayang yang sesungguhnya, walau hanya dari saudara-saudara sepupunya saja. Renjun justru merasakan hangat disini, tak seperti di rumahnya yang mungkin hanya memiliki kesan buruk bagi diri Renjun.

"Kapan-kapan ajak Liam ke rumah, boleh?" Tuan Huang pun sama ragunya dalam meminta sebuah izin untuk Liam dari Renjun.

Bagaimana pun hubungan keduanya masihlah begitu canggung, karena selama ini tak pernah saling berbicara seakrab dan sebaik sekarang.

Renjun melepas pelukan ayahnya, kemudian mengangguk. "Boleh."

Sementara itu, Liam yang digendong Ningning untuk ia bawa ke minimarket kini sibuk menghindari Guanlin yang berusaha menatap wajahnya. "Ningning, Linlinnya jangan ajak."

Liam masih dendam soal acara membeli bukunya yang tak jadi dituruti Guanlin, karena tiba-tiba Guanlin ada rapat dadakan. Membuatnya harus membatalkan janjinya pada bocah itu.

"Tidak mau maafkan Linlin ya?" Guanlin meraih tangan Liam, dan segera anak itu menyembunyikan tangannya dari jangkauan Guanlin.

"Kalau kau terus mengganggunya, ia akan menangis Guanlin." Protes Ningning.

Guanlin berdecak kesal mendengarnya, tapi ia juga tak mau membuat bocah itu menangis lagi karenanya. "Yasudah, Linlin pergi dulu ya? Nanti nanti betulan Linlin ajak beli buku, ganti kemarin kita tidak jadi."

Tangan Guanlin mencuri satu cubitan pada pipi Liam sebelum berlari pergi, meninggalkan Liam yang menjerit kesal. "Linlinnya nakal lagi! Liam tak mau."

Ningning meringis merasakan telinganya berdenging karena jeritan Liam. Kemudian mereka sampai di mini market yang tak jauh dari gedung apartemen. Ningning membeli beberapa barang yang ia butuhkan, dan setelahnya keluar begitu selesai membayar.

Unspoken Words ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang