1

178 14 6
                                    

Sebuah mobil SUV hitam mendadak berhenti di tepian jalanan sepi tengah malam kala hujan deras turun. Dari dalam mobil itu, tubuh seorang pria sedang bergetar hebat, dengan sepasang tangannya yang masih memegang setir. Matanya dipejam paksa. Berulang kali ia berusaha mengatur nafas untuk meredakan getaran di tubuhnya.

Mata besarnya menyoroti pantulan kaca spion tengah untuk memastikan keadaan di belakang. Tak cukup puas, bergegas, ia membuka jendela mobilnya dan menjulurkan kepalanya keluar sampai rambutnya basah kuyup.

Pria itu masih kurang yakin dengan apa yang terjadi barusan. Tapi, yang jelas sebuah benturan sangat keras di bagian belakang mobilnya beberapa saat lalu, membuatnya oleng hingga dua ban belakangnya selip dan nyaris terguling kalau saja ia telat sedikt menginjak rem.

Kepanikannya sedikit mereda. Kini, ia berupaya mengumpulkan keberanian untuk keluar dari mobilnya dan mengecek situasi di belakang. Dilihatnya tidak ada satupun kendaraan yang melintas. Tubuhnya sudah kuyup diguyur hujan deras. Pandangannya kian kabur. Berulang kali ia mengelap air jatuh di wajahnya dengan tangan kosong untuk memperjelas pengelihatannya. Penerangan terlalu minim di tambah guyuran hujan lebat bercampur angin ribut sampai merundukan pohon-pohon besar di sekitar jalan, membuat segalanya terasa makin mengerikan. Ia menoleh kembali ke arah mobilnya yang masih menyala, terlihat penyok di bodi belakang mobilnya, ditambah bemper yang setengahnya terseret aspal. Pria itu keheranan. Tidak ada apapun di sekitar sini, setidaknya yang lebih kuat untuk hampir menyeret mobil besar dan kokoh seperti itu jatuh ke jurang di pinggiran jalan.

Langkahnya perlahan mundur. Ia berniat kembali ke dalam mobil. Namun, tiba-tiba, "GE!" Dari sela suara derasnya hujan, terdengar suara teriakan seorang wanita yang entah dari mana asalnya.

Pria itu menghentikan langkahnya. Sekilas, seperti ada hembusan angin yang terasa hangat di tengkuknya. Bulu romanya bergidik. Namun, rasa penasarannya lebih kuat. Sontak ia mulai mencari sumber suara tersebut.

"GE!!" Seruannya kencang, namun terdengar makin lirih.

Ia makin mempercepat lajunya. Langkah kakinya memecah genangan air. Ingin rasanya menjawab teriakan itu, namun ia terlalu ragu dan takut. Matanya menyisir ke segala sisi, mencari dari mana teriakan itu berasal.

Bertumpu hanya pada sinar bulan purnama, ia kehilangan asa menemukan apa yang dicarinya. Sesaat, ia menghentikan pencariannya dan berdiri mematung. Dari dalam lubuk hatinya, ia merasa kesedihan dan ketakutan yang teramat. Sekaligus bercampur jadi satu. Ia tak paham apa yang terjadi, namun rasanya sakit sekali. Dadanya merasakan sesak. Air di pelupuk matanya mengalir.

Ada suara gemericik dari langkah kaki memecah air yang menggenang di atas aspal. Suara itu rasanya kian mendekat ke arah belakangnya. Pria itu balik badan.

"Jangan lari!" Ucap seorang wanita paruh baya dengan kepala berlumuran darah, tangan dan kedua kaki yang patah, namun masih sanggup melangkah.

***

Apartemen Sutons Tower.

Pria itu membuka kedua mata dengan cepat.

Mimpi itu lagi, batinnya berbisik.

Nafasnya terengal-engal, pendek tak beraturan. Tubuhnya melonjak kecil membenahi posisi pundaknya yang berada di ambang kasur.

Alarm heart rate dari jam tangan pintar yang setia melingkar di tangannya ikut berbunyi sejak tadi. Benda mungil itu berusaha memperingatkan tuannya untuk bangun. Gawai pintar itu memang sengaja ia beli untuk situasi seperti ini. Telunjuknya berusaha mencari tombol 'dismiss' dari layar jam mungil tersebut. Ia menyadari seluruh tubuhnya berkeringat hebat. Jemari kirinya kompak membobol ikatan tali jam tangan kulit yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, melepas pengait buckle jam pintar itu hingga jatuh ke kasur dan membiarkan pori-pori kulit tanganya bernafas lega.

Through Her EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang