7

37 10 3
                                    

Gerbang tinggi dan lebar bergaya modern minimalis warna hitam itu perlahan terbuka dengan otomatis. Seorang satpam mengangguk salam hormat pada rombongan di dalam. Mobil yang dikendarai Glenn-pun masuk.

"Ini cluster? Apa komplek?" celetuk Ghean sembari celinga-celingu ke luar jendela.

Gina tertawa geli, "Kamu sarkas apa serius, sih, nanyanya?"

"Serius! Daritadi kok nggak ada satupun rumah yang kelihatan, padahal udah masuk gerbang lumayan jauh."

Mendengar itu Gege menepuk pelan jidatnya.

Glenn ikut tertawa, "Itu, rumahnya!" tunjuk Glenn.

Sebuah rumah bergaya modern kontemporer dalam area bentangan tanah seluas kurang lebih 3500m² itu membuat matanya membelalak lebar. Ghean tak henti melongo sambil memetakkan pandangannya dari tiap jendela yang terlihat demi memperjelas visual rumah super megah di hadapannya dari dalam kaca mobil.

"Ini ... hotel tempatku nginep?" tanya Ghean.

"Hahaha ... aduh, nggak ngerti lagi deh aku. Iya-iya, aku rasa ini bakal jadi 'hotel' tempat kamu nginep. Sudah pasti, sebenarnya." jawab Gina.

Glenn selesai memarkirkan mobilnya. "Loh, Mas, kamu nggak pernah kasih unjuk foto rumah mu, to?" tanya Glenn sembari membuka seatbelt.

Gege hanya menggeleng. "Ghean biar masuk sama aku. Kalian duluan aja."

Sesaat setelah Gina dan Glenn maauk lebih dulu, Gege membukakan pintu mobil untuk Ghean. "Jangan salah paham. Saya nggak maksud romantis ke kamu."

"Pak!"

"Udah kamu jangan protes!"

"Pak! Saya nggak mau protes, tapi mau nanya ini hotel atau rumah sebenernya?"

"Rumah."

"Rumah bapak?"

"Iya, rumah bapak saya."

"Wes! Saya baru tahu bapak anak orang kaya raya." guraunya.

"Yang kaya itu orang tua saya."

"Yailah orang kaya kalo ngeles sama semua."

"Kenapa, sih?."

"Pak, bapak bilangnya mau dikenalin ke keluarga bapak, ya! Bukannya diinepin di keluarga bapak! Terus, surprisingly keluarga bapak keluarga yang nggak biasa. Terus, saya di sini, berdiri dengan celana jins belel, switer belang-belang dan muka berminyak harus ketemu!"

"Biasa aja, Ghe. Mereka masih makan nasi, kok."

"Enggak, enggak, enggak! Saya nggak mau!"

"Ya ampun, kenapa sih, Ghe!"

"Pak, jujur aja, ya, saya ke Surabaya itu cuma bawa kemeja dua setel, celana joger, jins, satu knit panjang, sisanya kaos oblong!"

"Ya, terus kenapa, Ghe? Ada masalah?"

"Pak! Astaga," Ghean makin panik, "Pak, saya nggak punya baju yang layak buat ketemu sama keluarga bapak! Pak! Astaga! Lagipula, saya keberatan kalau nginep di sini!

Gege tidak mengira Ghean akan sebawel ini. Ia mulai gemas dengan bocah satu ini. "Nih saya kasih tahu alesannya, ya! Pertama, yang nyuruh pacar saya nginep di rumah ini ya orang tua saya! Kedua, yang ngebet ketemu sama pacar saya itu ya keluarga besar saya. Ketiga, saya nggak sangka mereka udah siapin kamar khusus buat kamu di rumah ini!" papar Gege sambil mengeluarkan koper merah muda Ghean dari bagasi mobil. "Sejujurnya, kamu takut, ya?"

Seseorang berlari dari arah samping rumah. Pakaiannya rapi, serba hitam, lengkap dengan HT menempel di sisi kiri pinggangnya. "Mas Gege, maaf terlambat. Saya saja yang bawa masuk ke kamar pacar mas." kata laki-laki bertubuh tinggi besar dengan potongan rambut cepak ala polisi. "Permisi."

Through Her EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang