25

39 6 6
                                    

Juni, 2018 ...

Alis sebelah kanannya menukik tinggi sementara yang kiri tetap rendah kala dirinya membaca pos-el berisi panggilan interview tahap akhir. Rasa bangga sekaligus heran bercampur jadi satu. Dari sekian ratus lamaran kerja, puluhan panggilan wawancara, dan tiga kali lolos tahap kedua, baru kali ini Ghean mendapatkan panggilan wawancara kerja tahap akhir dengan user yang akan menjadi atasannya. Tentu bangga, namun, rasa heran ikut menggelitiknya, karena bukan posisi sebagai admin, kasir, atau pelayan restoran seperti lowongan yang biasa ia lamarlah yang memanggilnya, melainkan sebagai junior copywriter sebuah perusahaan periklanan yang berkantor di deretan kompleks bisnis elit Sudirman yang seumur hidupnya tidak pernah Ghean jelajahi.

Kini gadis itu tengah duduk manis di ruang tunggu, menunggu seorang resepsionis cantik berwajah timur tengah memanggil namanya. Di sekelilingnya juga ikut duduk satu pria dan satu wanita lainnya yang berpenampilan cukup anggun dan menarik mengenakan kemeja rapi, masing-masing menatap layar ponselnya tak saling sapa.

"Gheanne?" panggil si resepsionis sesaat setelah ia menerima telepon.

"Saya!" balas Ghean.

"Silakan masuk ke ruangan. Di ruang rapat, sebelum tangga, sebelah kiri." ujarnya ramah.

"Baik, terima kasih." Ghean melenggang semangat.

Melihat desain interior kantor ini membuat jiwanya meronta semangat. Beragam lukisan mulai dari abstrak hingga klasik, beragam poster dan pajangan piagam penghargaan menghiasi sepanjag dinding menuju tangga. Kapanlagi berada di sebuah kantor dengan atensi besar terhadap seni di gedung tinggi di pusat Ibukota, pikirnya. Meskipun kemungkinan ditolak akan lebih besar daripada di terima, setidaknya berada di sini membuatnya termotivasi lebih baik lagi.

Tok..tok..tok.. ketuk Ghean pelan.

"Masuk." jawab seorang pria dari dalam ruangan.

Begitu Ghean membuka pintu kayu itu, seorang pria tampan duduk sendiri sambil sibuk membaca sekilas selembar kertas yang bersemat foto Ghean dengan latar belakang biru tua dengan rambut terurai panjang bergelombang.

Pria itu lalu mempersilakan Ghean duduk, matanya lalu beralih melihat Ghean. Untuk beberapa detik ia tak melepas pandangannya, "Gheanne?" tanyanya dengan wajah penuh keraguan.

"Betul." jawab Ghean penuh kehati-hatian.

"Saya Gege, kepala kreatif. Seharusnya yang wawancara itu bukan saya, tapi, dia nggak hadir, jadi saya wakilkan." Pria itu lantas melirik kembali CV Ghean untuk memastikan sesuatu, "Ini CV ter-update kamu?"

"Benar, pak."

Alisnya menukik satu, pria itu tampak keheranan sendiri. "Kamu lolos tahap psikotes, dan wawancara psikologi dengan skor baik. Tes pengetahuan kamu juga baik, tapi, sori, dari sekian banyak pengalaman kerjamu, nggak ada yang berkecimpung di dunia periklanan or so?" tanyanya mulai mengintimidasi.

Ghean terus menatap pria itu tepat di matanya. Bibirnya terus tersenyum. Mentalnya tak jiper. Persetan diterima atau tidak, yang jelas, untuk sampai di tahap ini saja sudah membanggakan baginya. "Betul, pak." jawabnya sambil tersenyum.

"Oke, kalau gitu, coba jelaskan tentang kamu sejelas mungkin, tapi jangan buang-buang waktu saya."

"Baik," Ini adalah saat yang paling mendebarkan baginya. Ghean tersenyum mempersiapkan nyalinya, "Sebelumnya, terima kasih sudah mengundang saya untuk wawancara akhir. Perkenalkan, nama saya Gheanne Adinata, latar belakang pendidikan terakhir saya SMA jurusan IPA, dan pekerjaan terakhir saya adalah asisten penulis naskah produksi film pendek di Bandung sebelum saya pindah ke Jakarta."

Through Her EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang