12

26 9 5
                                    

Bunyi nada sambung itu terdengar merdu di telinga Ghean. Sudah lama ia berusaha menghubungi daftar nomor pertama di kontak ponsel barunya tersebut, sayang, nomor itu tidak pernah aktif. Namun, syukurlah, batinnya berbisik, nomor itu sekarang aktif. Maka ia tidak perlu lagi merasa khawatir.

Sambil berjingkrakan di depan cermin, ia menunggu seseorang mengangkat panggilannya. "Halo, Ma?" sapanya sigap setelah mendengar suara gemeresak tanda panggilannya telah diangkat.

"Halo sayangku. Apa kabarmu, nak? Mama kangen sekali sama kamu." balas ibunya nun jauh di sana. Suaranya terdengar lemah dan lembut.

"Mama ke mana aja? Ghean berkali-kali coba telepon Mama dan Papa, tapi nggak tersambung juga. Kangen tahu!" cecarnya manja.

Suara tawa renyah itu terdengar, "Dasar anak tunggal. Manjanya nggak hilang-hilang walaupun sudah ngekos lama. Kita lagi di jalan, nih."

"Mama sama Papa gimana kabarnya? Sehat, kan?"

"Sehat, sayang. Kamu gimana? Sehat, kan?"

Ghean terkekeh, "Sehat dong. Ghean kan anak sehat, anak kuat kayak kata lagu tidur dari Papa dulu." godanya sambil tertawa geli,

Ibunya terdiam sejenak membuat jeda.

"Halo? Ma?"

"Gimana kondisi kamu sekarang, nak?"

Tawanya perlahan memudar. Perasaannya tetiba jadi tak enak. Ia jadi ragu untuk menceritakan kondisinya saat ini. Ia fikir ibunya tak perlu tahu apa saja yang telah ia alami.

"Hmm... Ghean ..." ia paham bahwa tidak perlu menceritakan segalanya. Tapi, untuk sejenak otaknya berfikir keras, bahwa ada satuhal yang sangat mengganggunya beberapa hari belakangan ini.

"Kenapa, nak? Kok kedengarannya kamu sedih?"

Untuk beberapa saat, jantungnya berdebar tanpa alasan. "Ma ... Ghean mau cerita sesuatu, tapi Mama jangan ketawa, ya?"

"Iya, nak. Ada apa? Cerita sini sama Mama."

Bibir bawahnya ia gigit kuat-kuat. "Ma, kayaknya Ghean ..."

"Kenapa sayang?"

"Ghean lagi suka sama seseorang, Ma."

Suaranya goyah, ibunya terdengar seperti menahan tawa.

"Ih, tuh kan, ketawa!!"

Bibirnya dipaksa merapat, tawanya lenyap, "Maaf, ya, nak, mama cuma senang akhirnya kamu mulai membuka hati. Memangnya siapa dia? Cerita dong."

"Ih, malu ah."

"Loh kok malu?"

"Hmm.. ah udah lah, lupain aja, Ma. Ghean cuma kebawa suasana aja."

"Nggak pa-pa. Jujur aja sama perasaanmu, nak."

"Tapi, Ma... Ghean sama orang ini kayak langit dan bumi."

"Loh, memangnya kenapa sama langit dan bumi?"

"Ya, beda jauh, Ma. Nggak cocok. Nggak pantas sama sekali." ujarnya pesimis.

"Tapi, langitkan memang untuk bumi, nak." Ibunya tertawa tipis, "Kamu takut, ya?"

Sejenak, ia memikirkan pertanyaan tersebut. Benar. Memang benar, ia ketakutan. "Iya." jawabnya pelan.

"Kamu takut patah hati, ya? Kamu takut kehilangan lagi?" cecar Ibunya sengaja.

Ghean tak menjawab satupun pertanyaan Ibunya lewat suara. Namun, kepalanya jelas mengangguk pelan.

"Nak, kita semua tahu kehidupan itu memang tidak akan selamanya baik-baik saja." ujar Ibunya yang seolah bisa membaca seluruh isi hati dan pikirannya saat ini. "Badai hari ini mungkin akan datang lagi esok hari. Lalu, kenapa kamu masih takut?"

Through Her EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang