19

17 7 5
                                    

Semua berjalan lancar. Ghean mendapatkan tiket pulang ke Jakarta, meskipun kelas ekonomi. Tidak masalah, baginya saat ini kelas ekonomi jauh lebih baik ketimbang tiket penerbangan kelas satu.

"Terima kasih banyak, ya, Win."

Wina menepuk bahu Ghean, "Pokoknya, kalau udah sampe, lo haru kabarin gue. Gue nggak peduli, lo harus kabarin gue, mau pake hp tetangga lo juga, terserah. Lo harus bilang."

Ghean tersenyum lebar sembari mengangguk, "Iya. Tenang aja. Nanti gue pasti transfer balik biaya tiketnya."

Dari belakang Wina, seorang pria muncul, "Nggak perlu, itu masuk jatah karyawan, kok." kekehnya.

"Ah, jangan gitu, lah, mas Arman."

"Beneran, Ghe." tegas Wina. "Yang jelas, gue harap hidup lo lebih baik setelah ini."

"Win, gue boleh naik kereta tanpa KTP aja udah bersyukur banget. Semua berkat kalian berdua. Terima kasih banget,"

Keduanya berpelukan erat sebelum akhirnya pengumuman terakhir kereta akan segera berangkat menuju Jakarta.

Ghean mengenakan kaos oblong dan celana jogger milik Wina. Hanya itu setelan pakaian terbaik yang ia bisa ia kenakan. Wina membantu Ghean membuang gaun malam miliknya ke tempat pembuangan di sekitar komplek rumah Wina. Itu jauh lebih baik.

Tak lama, Ghean naik ke dalam kereta kelas ekonomi. Tempat duduknya tepat di sebelah jendela besar. Arman, pacar Wina kebetulan tidak sedang bertugas hari ini. Meskipun begitu, mendapati pertolongan Wina dan pacarnya yang seorang masinis kereta, adalah sebuah anugerah di tengah ujian yang menguras emosi bagi Ghean. Namun, ia tak ingin lagi larut dalam kelinglungan. Bangkit adalah solusi. Lagipula, Ghean yakin, tak lama lagi Gege akan mengajukan surat pengunduran diri. Dengan begitu, mereka tak harus bertemu lagi.

Bunyi klakson kereta api jadi penanda kereta siap untuk jalan. Lambaian tangan Wina dari luar jendela perlahan berganti pemandangan hijau. Sebuah perjalanan pulang ke Jakarta yang tidak terpikirkan oleh Ghean sebelumnya. Namun, kenyataannya Dipo benar, dirinya pulang sendirian ke Jakarta.

Ghean menarik napas panjang. Tanpa tanda pengenal, tanpa koper pinjaman Jola, Ghean kembali pulang. Beruntung, Wina memberikan sedikit uang untuk ongkos dari stasiun menuju kos-kosannya. Dompet Ghean bahkan tertinggal di rumah Gege. Kini ia harus mengurus seluruh dokumentasi kependudukannya dari awal dan melewatkan malam taun baru dari atas kereta api.

***

Nada sambung telepon itu berbunyi nyaring. Beruntung dirinya masih menyimpan kartu nama itu.

"Halo, selamat siang," suara seorang wanita menyambut dari dalam telepon, "dengan Jogi Nasution Law Firm, ada yang dibantu?"

Gege menelan ludah. Perlahan ia menarik napas, "Selamat siang," balasnya ragu.

"Baik, dengan bapak siapa, maaf?" balas wanita itu.

Gege berusaha meneguhkan niatnya, ia yakin orang yang dicarinya benar. "Saya mau tanya, apa orang yang bernama Dimas masih bekerja di sana?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Dimas?"

"Iya, saya yakin namanya Dimas."

"Dimas Nasution, pak?"

Gege tidak tahu nama lengkapnya, "Dimas, ... umm... dia pernah kerja di sana sekitar empat tahun lalu ..."

"Oh, baik, saya mengerti. Di kantor kami memang pernah ada karyawan magang bernama Dimas Nasution, pak. Kalau boleh tahu, ada keperluan apa, pak?"

"Saya bisa minta nomor teleponnya?"

"Mohon maaf, untuk keperluan apa, pak? Karena saudara Dimas sudah tidak bekerja di sini lagi."

Through Her EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang