24

32 6 11
                                    

Jola tak bisa membohongi perasaan gundah gulananya setelah Ghean mengatakan hal yang di luar prediksi. Di satu sisi Jola tidak percaya dengan apa yang dikatakan Ghean, bisa saja itu sebuah kesalahan, bisa saja Ghean salah lihat orang. Namun, di sisi lain, Jola merasa Ghean berkata jujur. Anak itu jarang berbohong, jarang menutupi sesuatu, seolah isi kepalanya transparan. Setidaknya, itu yang Jola yakini hingga cuti akhir tahun mereka usai kemarin.

Ia tak hilang akal. Setelah berpuluh pesan singkatnya tak satupun dibalas Chicco, Jola mencoba menghubunginya walaupun pekerjaannya sedang menumpuk.

Panggilan itu diabaikan. Panggilan lainnya dimatikan sengaja. Dan, terakhir, nomornya berada di luar jangkauan. Jola makin naik pitam. Setelah sekian minggu tak bertemu, Jola merasa mulai dipermainkan. Apalagi dengan adanya pengakuan Ghean yang seolah makin mengukuhkan firasatnya.

Melihat wajah Jola yang kusut, gestur yang gelisah, dan tangan yang tak henti memegang ponsel, Marshell inisiatif bertanya, "Kenapa sih, La?"

Jola tak memedulikan pertanyaan itu. Ia hanya terus menghubungi Chicco meskipun panggilan itu berulang kali tak tersambung.

"Kalau butuh sesuatu, bilang aja" ujar Marshell.

***

Firasatnya makin kuat. Seolah benar ada yang sesuatu yang salah, Jola berencana mengunjungi Chicco di kantornya. Chicco pernah memberikannya kartu nama berisi alamat kantor tempatnya bekerja. Meskipun tak yakin ia ada di sana, setidaknya Jola berusaha. Ia harus tahu kebenarannya.

Alarm pintu mobil menyala, tanda pintu tak lagi terkunci. Jola membuka pintu mobilnya lalu melempar tas satchel-nya ke atas jok kursi penumpang, lalu menutup pintu belakang cukup kencang hingga beberapa orang di basement sana melongo melihatnya.

"LA!" seru suara seorang pria dari depan pintu lift yang tak jauh dari tempat Jola memarkir mobilnya.

Jola menoleh malas. Namun, reaksinya berubah seketika saat ia melihat Gege berlari kecil ke arahnya. "Eh, mas!" sahutnya, "Ada apa?"

"Saya mau ambil helm." jawab Gege datar.

"Oh." untuk beberapa saat Jola terdiam tak membuka pintu bagasinya.

Gege yang berdiri di belakang mobilnya heran, "La? Udah dibuka?"

"Aduh ..." Jola mendadak punya rencana terselubung,

"Kenapa?"

"Kayaknya aku lupa bawa, deh, Mas."

Gege beralih mendekati Jola, "Maksudnya?"

"Umm... semalem itu aku cuci mobil, jadi, interiornya ..."

"Kamu mau bilang helm saya ketinggalan di car wash?"

Jola mengangguk ragu,

"Oke, saya ambil aja. Di mana tempatnya?"

"Eh, nggak! Gini, di luar kayaknya mau hujan, jadi kita ambil bareng aja, gimana?"

"Hah?"

"Ya ..." ia terus berfikir keras bagaimana caranya menjebak Gege agar mau ikut dengannya, "ikut aku aja, aku juga mau ambil sesuatu di sana. Kebetulan, kan?"

"Loh, nanti motor saya ditinggal lagi. Nggak usah, La."

"Nggak pa-pa, mas, nanti ku anterin balik ke kantor lagi."

"Ya, ampun repot banget. Nggak usah, saya aja ..."

Seakan sudah kehilangan akal, Jola tak ingin kalah, "Mas ... please," ini siasat terakhirnya, "ikut aku aja, oke? Help me."

Through Her EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang