3

40 10 0
                                    

Beberapa lukisan asli dari seniman Bali yang Ia beli setahun lalu menggantung apik di tiga sudut di dalam ruangan 3 meter persegi tersebut. Salah satunya lagi menggantung tepat di belakang meja kerjanya. Setiap orang yang masuk ke dalam ruang kerjanya, pasti memuji keindahan lukisan itu. Dari tata interiornya ruang kerjanyapun, bisa dipastikan penghuninya terobsesi karya seni.

Sudah lewat dari 10 menit yang lalu pria itu duduk mematung di kursi kerjanya. Satu tangan memegang tetikus, satunya lagi menopang dagu. Ia masih kefikiran soal kejadian tadi. Ada rasa tak enak. Ia tahu kelakuannya di ruang rapat sangat arogan dan bossy. Mengumpulkan banyak orang di satu ruangan untuk bertukar fikiran, namun, ia dengan bodohnya malah memutuskan sendiri. Padahal, ia juga penasaran dengan kelanjutan cerita gadis bertubuh mungil yang kerap membuat masalah itu.

TRUNG...
Ponselnya berdering kencang. Bergegas ia menerima panggilan masuk yang nama kontaknya tertulis jelas 'Mama'.

"GE!" Kejut suara wanita di seberang sana. "Kapan pulangnya? Nyebelin kamu, janjinya kemarin sudah sampai Surabaya!"

Gege menghela nafas pelan sebelum menjawab teriakan ibunya, "Seminggu lagi baru bisa, ma. Kerjaan akhir tahun nggak bisa ditinggal."

"Gimana seminggu lagi, sih, Ge? Kamu buang-buang uang beli tiket pesawat yang kemarin saja! Nggapleki tenan¹." Seru suara wanita yang terdengar kental dengan dialek khas Surabayanya. "Oma-mu nih, mau bicara."

Mendadak, Gege merasa cemas. "Mam, aduh, nggak usah ..." belum selesai ia bicara, suara orang di ujung teleponnya itu berganti.

"Kowe muleh kene.² Tegas wanita tua yang ia panggil 'Oma', itu. Dari nada bicaranya, sepertinya oma tidak main-main. "Mulehno³, Ge. Adikmu ki arep⁴ menikah, loh!"

Gege menghela nafas lagi. Sepertinya ia akan berkali-kali menghela nafas kali ini. "Iya, oma, ..."

"Semoyone sesuk maneh-sesuk maneh.⁵ Tiga tahun kowe ngilang ra pernah pulang ke Surabaya," nadanya makin meninggi diiringi ketegasan di akhir kalimat. "Bawa calonmu sekalian!" Lanjutnya makin ngegas.

Gege terperanjat. "Hah? Calon siapa, Oma?"

"Itu loh, cah wedok⁶ yang panggil kamu 'sayang' malam-malam."

"Hah? Sayang?" Gege makin tak mengerti yang dibicarakan Omanya. Seumur hidupnya baru ada satu wanita yang ia kenalkan secara resmi ke seluruh keluarganya di Surabaya, termasuk Oma. Kali ini, ia tak mengerti siapa yang dimaksud 'wanita' oleh Omanya. "Oma salah dengar kali? Emamg manggilnya kapan?"

"Arep alesan opo maneh kowe⁷? Moso sudah kerja di Jakarta, masih ndak punya calon juga! Janganlah diumpeti. Jangan bohong-bohong sama oma, kualat kowe! Kalau tidak bawa calon, oma ndak mau datang lagi ke dokter, Oma ndak mau terapi lagi, ndak mau minum obat lagi! Oma ndak mau datang lagi ke Jakarta!" Kekeh suara wanita tua yang masih terdengar tegas itu.

"Lagi? Loh Oma emang nggak pernah ke Jakarta!" Sergah Gege.

Tidak lama, suaranya berganti menjadi suara ibunya. "Wes-lah nurut wae. Tahu sendiri oma mu kalo ndak keturutan. Tiga tahun loh, Ge, kamu nggak mau pulang. Masa adikmu menikah, kamu masih sendiri aja. Nanti, apa kata orang? Move on, lah, Ge. Kenalin sini calonmu. Harus ada!" Ujarnya lugas.

"Itu Oma salah dengar, ma! ..." Gege kalangkabut mencari penjelasan. "Lagipula Gege pasti kehabisan tiket pesawat."

"Tiket pesawat sudah diatur. Kamu nanti hubungi mas Dewan aja, orang tiketing langganan mama. Pesan satu kursi lagi untuk pacarmu. Udah, ya. Minggu depan, pulang. Bawa calonmu. Titik. Oh, iya, jangan mepet! Seminggu sebelum pernikahan, kamu harus sudah di rumah, banyak acara soalnya. Titik lagi!" Kemudian sambungan telepon itu terputus menyisakan Gege sendiri dalam kebingungan.

Through Her EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang