16

21 11 4
                                    

Chesee....!

Ini sudah jepretan foto ke-enam dan Gege tak tahu butuh berapa jempretan lagi yang harus ia ikuti, sementara tamu undangan lain sudah dipersiapkan untuk naik dan menyalami pengantin.

Sejujurnya, Gege tak keberatan berfoto bersama keluarga besar sebanyak dan selama apapun itu. Namun, seolah paham situasi, untuk tersenyum di foto saja rasanya canggung. Batinnya resah bukan main.

"Kamu ngundang Tiara, Ge?" bisik Lita pelan.

Gege menggeleng tak berucap sekatapun.

"Kebangetan papamu." duga Lita terang-terangan.

Dipo mendengar sekelebat grundelan Lita. Tak ada rasa bersalah sedikitpun. Dipo malah tersenyum licik. "Ya, apa salahnya diundang. Nantinya juga mereka nikah, kok."

Lita terhentak. Kepalanya otomatis menoleh ke arah Gege. "Nggak salah kamu, Ge?"

Gege diam saja. Kepalanya serasa ingin meledak. Wajahnya penuh tekanan. "Gege pamit turun duluan." tanpa basa-basi lagi, ia bergegas menuruni anak tangga pelaminan, dan berlari menuju kerumunan tamu undangan khusus.

Dipo bergegas menyela, "Ya, sana temui Tiara." diakhiri senyuman puas.

Dia tak melihat lagi gadis itu. Matanya tegas menelusur, namun, nihil hasil.

"Gege!" seru beberapa wanita seusia ibunya,

"Ya ampun, kamu makin ganteng aja! Tapi, kayaknya iteman ya, di Jakarta?" tukas salah satu dari mereka.

"Eh, iya, tante Feni," jawab Gege ala kadarnya, sementara ia tetap celinga-celingu.

"Eh, Ge, itu kamu katanya bawa pacar, ya? Mana? Kata Mamamu nggak kalah cantik dari yang dulu." timpal salah seorang ibu-ibu yang lain.

"Ehm..." Gege tak mampu menjawab.

"Tadi kayaknya aku lihat Tiara, deh."

Suasana semakin gaduh di sekelilingnya. Para ibu-ibu itu berebutan bicara.

"Masa sih, Mbak Mamik? Beneran punya pacar lagi kamu, Ge?" goda yang lain lagi.

Gege tak bisa berkutik. Tubuhnya terhuyung ke kiri dan kanan. Tangannya dipegangi erat-erat oleh Feni, salah satu sosialita sahabat baik Mamanya yang kenal lama dengannya.

"Duh, mbak, jangan ditanyain mulu, kasihan." bela salah seorang dari mereka, "Sekarang kerja di Jakarta ya, Ge? Jadi apa? Punya jabatan? Atau bisnis kayak Papa juga?" timpalnya tak kalah ekstrim.

"Duh ..." Gege benar-benar terapit para ibu-ibu.

"Anakku tahun ini 25 tahun juga, Ge, mau dikenalin aja? Biar jadi satu nih keluarga kita." gurau yang lain tanpa henti.

Gege makin gemas dengan situasi, "Aduh, maaf tante semua. Saya lagi buru-buru, maaf." ujarnya.

Feni kekeuh memegangi terus, "Nanti kenalin dong, pacarnya."

Gege mengangguk cepat, sebisa mungkin ia melepas rangkulan tante Feni sampai-sampai tubuhnya mundur beberapa senti, dan brukk... menabrak orang di sebelahnya hingga krim kue yang ditentengnya mengenai pergelangan tangan Gege.

"Aduh, maaf, mbak, maaf." mohonnya tak sengaja.

Wanita itu tampak sedikit kesal, namun, tak terlalu menghiraukannya. Ia berlenggang saja tanpa peduli.

"Yah, maaf ya, Ge. Kamu sih nggak bilang minta lepasin." kata Tante Feni membela diri.

Gege tak punya waktu untuk balas menggerutu. Ia bergegas keluar dari sana, dan berlari ke arah toilet untuk mencuci tangannya. Pandangannya tak fokus, antara jasnya yang kini kotor, dan jalan di depannya.

Through Her EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang