Surabaya, 2019 ...
Seorang pria berkemeja rapi dengan sigap berlarian kecil menuju ruang rapat yang masih tertutup. Pria itu mengetuk pelan beberapa kali, lalu tanpa ragu masuk, menyela, dan membuat rapat direksi pagi itu terhenti sejenak. Pria itu kemudian membisikkam sesuatu pada pimpinan rapat yang mimik wajahnya terlihat cukup terkejut dengan bisikan pria itu.
"Silakan lanjutkan rapatnya, saya permisi dulu." ujar si pemimpin rapat yang kemudian berlalu pergi secepat kilat.
Melihat ada yang aneh dengan papanya, Tiara kemudian mengikuti pria paruh baya itu keluar ruang rapat dan mengendap-endap berjalan jauh di belakangnya lalu bersembunyi dari balik pintu ruang kerja papanya itu. Awalnya Tiara agak kesulitan menguping, namun, sedikit celah pintu yang tak tertutup memberikannya ruang untuk suara yang lebih jelas.
"Siapa yang suruh mereka presentasikan projek itu?" seru Harvey dari balik pintu, "Saya jelas masih investor utama projek! Tidak boleh ada kesepakatan kerjasama lain apalagi dengan investor lain!" tegasnya yang lalu memberi sedikit waktu agar lawan bicaranya menjawab pertanyaan, "Arsitek? Arsitek siapa! Jelas seluruh elemen projek itu perusahaan saya yang pegang termasuk arsitektur!" Harvey terdengar begitu murka, "Apa maksudnya arsitek itu mau mempresentasikan projek? Untuk apa? Tidak ada pembicaraan tentang ini oleh Gerda. Mereka mau coba kabur berarti! Baik, terima kasih informasinya. Batalkan saja. Siapapun itu, dia pasti pembohong." tak lama telepon itu ditutup.
Tiara tak mau ambil risiko, ia bergegas lari kembali ke ruang rapat lagi. Tiara memandangi wajah murka kemerahan ayahnya. Benaknya bertanya-tanya, jika ayahnya bisa semurka ini dengan keputusan Gerda yang ingin mencari investor lain, berarti selama ini ayahnya sengaja memonopoli investor Gerda dengan memutus segala kerjasama mereka agar perusahaan Harvey menjadi satu-satunya pemegang investasi tertinggi projek kota baru Gerda. Tapi, untuk apa? Benaknya tak henti bertanya. Jika untuk menguasai Gerda, Tiara meragukannya, Gerda bukan perusahaan besar dan ternama, menguasai Gerda tidak akan memberikan mereka banyak profit.
Seusai rapat direksi, Tiara bergegas mencari Vano, asisten pribadi Harvey yang pertama kali menerima telepon misterius tadi.
"Vano!" panggil Tiara pelan. Wanita itu berlari kecil menghampiri Vano yang hendak turun ke kantin untuk jam makan siang.
"Iya, Bu Tiara."
"Saya mau tanya, tadi siapa yang telepon papa?"
"Oh, itu rekanan bapak di Jakarta."
"Iya, siapa?"
"Kenapa, Bu?"
"Jawab aja."
Vano mengambil jeda sebelum menjawab, "Investor perusahaan ini, rekan baik bapak dari Jakarta. Pak Darwin namanya."
"Kamu tahu kenapa papa marah setelah terima telepon itu?" tanya Tiara tegas.
Vano menggeleng kepala.
"Jangan bohong. Saya berhak tahu kalau menyangkut perusahaan ini."
"Benar, Bu, saya tidak tahu persis. Tapi, sepertinya ini menyangkut Gerda."
"Tadi, kata kamu Pak Darwin?"
"Betul."
"Perusahaan apa?"
Tiara tak tahu akan melibatkan dirinya pada apa, namun, jika ini menyangkut Gerda, ia harus mencari tahu tanpa ketahuan lebih dulu.
***
Jakarta, 2019 ...
Ghean berjalan cepat, bergegas menuju meja kerjanya setelah menyadari dirinya terlambat masuk empat belas menit lamanya. Satu menit lagi telat, maka Ghean akan mendapatkan potong gaji sebesar enam puluh ribu ditambah sanksi dari Gege. Itu juga kalau Gege masih mau memberikannya sanksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Through Her Eyes
Romance... Namun, kepura-puraan mereka pada akhirnya menimbulkan kisah romansa unik yang penuh tantangan dan tarik ulur satu sama lain dan membawa keduanya pada kenyataan yang pahit.