Gempuran angin menyerbu sekujur tubuh. Teriknya matahari siang menuju sorepun tak menghalangi. Sepeda motor bebek sewaan itu tetap teguh melaju cuek membelah jalanan Surabaya di sepanjang kota menuju pesisir Suramadu.
Dua orang di atasnya beratribut lengkap dari ujung kepala hingga kaki, sejak tadi cekakakan bersama, bernyanyi lagu koplo yang mereka tahu. Tanpa alunan musik, kepala berpayungkan helm yang kacanya longgar dan enggan membuka lebar, suara keduanya menyatu sampai tak jarang membuat orang lain yang berpapasan menoleh keheranan.
Kurang lebih 22 kilometer sudah mereka lalui dengan sorak sorai. Satu album baru Via Vallen dinyanyikan bergantian. Kini keduanya tiba di tujuan. Pantai Kenjeran.
Berbagai jenis kendaraan terparkir di lahan yang sama. Suara kicau burung penghuni pesisir ramai terdengar. Sepoi angin terasa berbeda, lebih kencang embusannya. Bibir itu sejak tadi tak henti tersenyum lebar.
"Saya tahu kamu pasti setuju." kekeh Gege.
Kepalanya mengangguk cepat, "Ya-ya-ya, saya akui anda cukup cermat membaca pikiran." balas Ghean semangat.
"Oh, ya, jelas." ujar Gege berbangga diri. "Kamu pasti suntuk di rumah." katanya sambil merapikan tatanan helm di atas kaca spion motor. "Ghe," panggil Gege,
"Apa?"
"Kamu nggak marah saya ajak ke sini?"
Mendengar itu, Ghean hanya tertawa kecil, "Emang kenapa?"
"Ya, wisata sederhana."
"Ya, nggak sederhanalah. Saya ke Surabayanya aja naik first class." guraunya.
"Tapi, saya bisa ajak kamu ke tempat yang lebih ... eksklusif mungkin."
"Pak, liburan ke Surabaya ini kan nggak bisa di-reimburse kantor, jangan foya-foya deh."
Gege terkekeh. "Bener, sih."
"Oh, gini, deh. Karena dari kemarin bapak nraktir saya terus, kali ini biar saya yang nraktir bapak seharian. Kebetulan karena Jola ngerasa berdosa menjerumuskan saya ke Surabaya sama bapak, dia transferin saya 'akomodasi tambahan'." papar Ghean.
"Duh, ya, jangan lah."
"Pak, sekarang udah nggak jaman cewek minta dibayarin mulu."
"Loh, kamukan nggak minta."
"Santai aja, pak. Saya bukannya nggak enak. Tapi, sebagai rekan kerja yang gajinya nggak gede-gede amat, saya kepingin sesekali nraktir bos."
"Bos apaan, sih." gesturnya kurang senang. Tapi, Gege punya ide lain. "Oke, kalau gitu. Hari ini kamu traktir saya, ya?!" tegasnya dengan wajah yang seketika sumeringah.
"Tenang, habis ini kita makan siang, ya! Sejujurnya pancake tadi kurang nendang di lambung saya."
"Boleh, tapi saya kepingin naik perahu dulu." palaknya lebih.
Bola matanya membesar, dahinya mengernyit heran. "Jadi nggak tahu diri, ya, lama-lama." celetuknya kesal.
Gege hanya terbahak mendengar celetukan kesal Ghean. Tanpa pikir panjang, melihat ada sebuah perahu kosong yang tengah menepi, Gege bergegas menarik lengan Ghean menjauh dari parkiran motor.
Keduanya berhenti di sebuah antrean yang tidak terlalu ramai. Ada beberapa orang yang terlihat sedang membayar biaya naik perahu kayu sederhana tersebut. Satu perahu muat sekitar kurang lebih sepuluh orangan.
Seorang pria dari baris tengah antrean tersebut terpantau tak henti memperhatikan Ghean dan Gege. Beberapa kali ia menoleh ke baris belakang, hingga Gege menyadari ada yang aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Through Her Eyes
Romance... Namun, kepura-puraan mereka pada akhirnya menimbulkan kisah romansa unik yang penuh tantangan dan tarik ulur satu sama lain dan membawa keduanya pada kenyataan yang pahit.