Kejut bagai sambaran petir tiba-tiba muncul kala sepasang mata itu membulat kaget memergoki pria membungkuk, merengkuh tubuh seorang gadis dari balik pintu ruang kerjanya. Kaca pasir itu terlalu jernih untuk menutupi apa yang sedang terjadi, sesuatu yang seolah jadi sebuah pembuktian telak bahwa ada sesuatu di antara Gege dan Ghean.
Tak ingin mengganggu, Aris sigap kembali ke meja kerjanya dan memilih untuk membereskan peralatan kerjanya. Kedua telinganya lantas disumpal airpod, dirinya mendadak jadi gugup sendiri meskipun seharusnya ini tidak lagi mengejutkannya.
Kejut itu muncul kala pintu ruangan Gege terbuka dan Ghean keluar dengan berlari kecil ke arah meja kerjanya. "Udah beres, Ris?" tanya Ghean pelan.
Sembari memasukkan laptop ke dalam tas, Aris mengangguk kaku. "Udah. Lu udah?" tanyanya tanpa melihat wajah Ghean dengan mata sembabnya.
"Udah. Yuk."
"Yuk."
Keduanya lantas menautkan tali tas ke pundak, lalu pergi dalam hening.
Sementara itu, dari dalam ruangan, Gege tak bisa berkutik. Geraknya terasa kaku setengah mati. Ia duduk membungkuk di atas sofa dengan kedua tangan menutup wajahnya. Isak tangis samar-samar masih terdengar.
***
Tingkahnya normal. Matanya tak sayu lagi. Bibinya melengkung walau ditahan. Sepanjang jalan, hingga tiba di sebuah klinik kejiwaan, Ghean terlihat baik-baik saja. Aris jadi curiga sekaligus khawatir.
"Selamat malam, dokter Lana." sapa Ghean hangat. Sesampainya di depan ruang praktek Lana yang sudah di bersihkan hingga jadi sebuah ruangan kosong.
"Eh, hai, Ghe!" balas Lana, "Sudah siap? Atau kalau kamu mau istirahat dulu, duduk di sofa depan aja dulu." tawarnya baik.
Ghean menggeleng sambil tersenyum, "Enggak terima kasih. Saya mau langsung kerjain sekarang juga." ujarnya, "Oh, iya, dok, saya bawa rekanan, apa dokter keberatan kalau saya ngerjain mural ini berdua sama dia?" tanya Ghean mengenalkan sosok Aris.
Lana menggeleng, "Oh, enggak, tenang aja. Saya nggak keberatan." jelasnya, "Oh, iya, kalau kamu perlu apa-apa, saya praktek di ruangan itu, ya." Lana menunjuk ruangan yang tidak terlalu jauh dari ruang kerja yang sedang mau dimural tersebut. Hanya berjarak sekitar tiga pintu dari ujung. Di sebelahnya terdapat dispenser air dan beberapa pilihan minuman yang bisa diseduh sendiri. "Kalau kaiian haus, atau laper, ambil aja di situ, ya. Gratis. Itu memang untuk umum." ujarnya.
Ghean dan Aris kompak mengangguk.
Tanpa banyak basa-basi, Ghean bergegas membuka tas "seni" yang ia bawa. Sementara, Aris mulai bolak-balik menggotong berkaleng-kaleng cat tembok dari mobil ke ruangan, Ghean mulai memilih pensil, dan mengamati gambar sketsa hasil unduhan salinan pindai kemarin dari secarik kerta A4. Lalu, jarinya mulai mencengkram batang pensil, dan tangannya mulai menari lincah di atas mulusnya permukaan tembok putih tersebut.
Aris yang baru selesai mengangkut seluruh kaleng-kaleng cat itu, lalu duduk sebentar sambil mengamati Ghean yang sedang fokus menggambar sketsa mural dengan pensil miliknya. Sambil sesekali menyamakam presisi dengan sketsa yang dibagikan Ghean kepadanya, Aris mengeluarkan airpod dari kantong celananya. Ia lalu menyumpal telinga sebelah kirinya dan mulai mencari-cari lagu yang ini didengarkan. Lagu hits kekinianpun diputar. Ia lalu berdiri, maju mendekati Ghean yang sudah hampir selesai dengan sketsa kasarnya. Lalu menyumpal airpod sebelah kanannya ke telinga Ghean. Sontak Ghean terkejut, namun, ia tak melepasnya ataupun marah. Ia terdiam sebentar lalu kembali melanjutkan gambar sambil menikmati alunan lagu Tulus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Through Her Eyes
Romance... Namun, kepura-puraan mereka pada akhirnya menimbulkan kisah romansa unik yang penuh tantangan dan tarik ulur satu sama lain dan membawa keduanya pada kenyataan yang pahit.