Garis arsir satu demi satu mengisi ruang kosong di atas selembar kertas putih. Jemari lentik mungil itu mulai berkolaborasi lagi dengan imaji liar.
Hari ini cukup bersejarah baginya. Seorang pria berbicara tentang perasaannya di tepi pantai. Gemuruh ombak laut senja tadi seakan menyambut suka cita. Perasaannya campur aduk. Berteduhkan langit berhias spektrum fajar senja. Kalimat itu mengalir dengan indahnya. Ghean tak ingin dan tak akan bisa melupakannya.
Gadis itu sedang menikmati perasaannya sendiri dari balkon kamar tidurnya. Beralaskan lantai granit, ia memilih duduk lesehan ketimbang duduk di atas kursi santai. Yang ia lakukan hanyalah melukis senja di pantai, melukis apa yang ia lalui hari ini. Melukis kenangan di secarik kertas dengan sebuah pulpen hitam.
Dari belakang seseorang tetiba memeluk tubuhnya erat-erat, wajahnya mendekati telinga. Deru napasnya orang itu membuat tengkuknya bergidik.
"Lagi ngelukis apa?" tanya pria itu pelan.
Cepat-cepat gadis itu menyembunyikan kertas yang sejak tadi tergelar di atas lantai. "Heh! Kamu bisa-bisanya masuk kamar cewek!"
Keduanya duduk lesehan.
"Lain kali, dikunci lagi makanya." balas Gege.
"Emangnya nggak pa-pa kamu masuk sini?" tanyanya.
"Harusnya aku tanya kamu," ujarnya sambil perlahan melepas pelukannya, "Lagipula siapa yang lihat? Kita sampai di rumah tadi Oma udah tidur, Pak Dipo entah di mana, Mama lagi ngecek progres venue nikahan sepertinya, Gina ... we all know where she is."
"Wah, detil sekali penjelasan anda." goda Ghean, "Tapi, tahu-tahunya saya di sini."
"FYI, dulu banget ini kamarku." balas Gege. "Ngelukis apa? ..." ia tahu pertanyaannya tidak akan mudah dijawab. "oke, nggak perlu kamu jawab." lanjutnya.
Ghean tersipu. Ia tak akan membiarkan Gege melihat sketsa kasarnya. Ia tak ingin ada salah paham di antara mereka meskipun Gege sudah terang-terangan mengatakan tentang perasaannya. "Sesuatu yang nggak penting buat kamu, tapi penting buatku." balasnya.
"Berarti itu juga penting buatku."
Ghean menggeleng. "Nggak bisa! Kalau ini ternyata kertas tagihan kartu kredit, bakalan beda cerita!"
Gege terkekeh. "Kan, nggak mungkin tagihan CC-mu nyasar ke Surabaya."
"Lagian juga saya nggak punya CC." celetuknya sambil tertawa.
Kemudian Gege meraih secarik kertas HVS dan pulpen yang berada di dekat Ghean, dan ikut menggambar.
"Saya tahu pasti kamu bisa ngelukis." goda Ghean.
"Bisa. Tapi, ya, nggak presisi. Melukis tradisional itu satuhal yang nggak aku bisa kuasain. Digital lebih gampang."
Ghean meringis, "iya, tapi, sayang alatnya mahal."
Kepalanya merunduk sampai rendah, matanya menyorot tiap bagian yang mulai terarsir pena. Lukisannya memang tidak sehidup sketsa Ghean, namun, tiap guratannya mengandung makna.
"Ge..." panggil Ghean pelan.
"Ya?" jawabnya tanpa menoleh.
"Hmm.. cita-citamu apa?" tanya Ghean sambil meringis.
Sejenak, Gege menghentikan kegiatan melukisnya, dan menoleh ke arah Ghean. Ia keheranan sekaligus geli sendiri mendengar pertanyaan yang tak pernah didengarnya setidaknya untuk sepuluh tahun belakangan. "Aku ... umm..." pundaknya digoyang, "sejujurnya aku nggak tahu lagi." ia lalu melanjutkan lukisannya.
Ghean mengangguk pelan, "Semakin dewasa, kita jadi semakin realistis, ya, ternyata sama cita-cita."
"Iya." jawabnya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Through Her Eyes
Romance... Namun, kepura-puraan mereka pada akhirnya menimbulkan kisah romansa unik yang penuh tantangan dan tarik ulur satu sama lain dan membawa keduanya pada kenyataan yang pahit.