11

26 10 10
                                    

Total ada dua tas belanja besar berbahan karton tebal bertali pita mewah yang ditenteng Gege, sementara Ghean menenteng satu tas berisi sepatu pilihannya. Mas itok yang sejak tadi menunggu kedatangan mereka tak jauh dari lokasi parkir mobilpun sigap berlarian kecil ke arah keduanya lalu menawarkan bantuan untuk membawakan tas belanjaan. Mobil itu lantas cabut dari sana lekas kembali menuju rumah.

Siang itu awan mulai mendung, beberapa kali terdengar suara gledek meskipun tidak terlalu intens. Sepertinya akan turun hujan. Hujan mungkin menjadi musuh untuk acara lamaran Gina nanti malam, terlebih acara itu akan dilaksanakan di taman terbuka.

Benar saja, tak berselang lama mobil itu keluar dari parkiran, hujan deraspun mengguyur. Mas Itok sigap menyalakan penyeka kaca agar pandangannya tak terhalang gempuran air hujan.

Samar-samar Ghean mendengar pelan embusan napas yang lumayan panjang durasinya. Terdengar seperti seseoang yang sedang gugup baginya. Ia menoleh ragu ke arah Gege yang duduk di sisi kirinya. Terlihat, Gege sedang memalingkan pandangannya ke luar jendela sambil bertopang dagu, menyaksikan guyuran hujan di sepanjang jalan yang lengang. Entah mengapa rasanya Gege terlihat sangat resah. Tulang rahangnya tampak menegang sesekali, jemari tangan kanannya sesekali memainkan ketukan di atas paha. Ghean ingin menegur, tapi terlampau tak enak hati. Tak enakan memang bukan ciri khas dari Ghean, tetapi, sepertinya Gege memang tidak ingin ditegur. Ghean mengurungkan niatnya dan tetap duduk diam di tempatnya sambil sesekali mencuri pandang ke arah kaca mobil depan.

Jalan raya menuju rumah Gege siang itu terpantau ramai lancar. Mas Itok mengemudikan mobil cukup kencang. Beberapa kali Mas Itok pamer kelihaian menyalip pengendara motor di hadapannya. Hal itu tentu membuat mobil beberapa kali terguncang meskipun pelan. Mas Itok tidak menyadari bahwa Gege merasa sangat tak nyaman dengan perjalanan ini. Gege hanya terus terlihat siaga memperhatikan keadaan di luar.

Sementara itu, tak jauh dari titik putar arah, jalanan di depan mobil mereka terlihat berhenti. Mas Itok sigap menginjak pedal rem tanda berhenti mendadak.

Namun, tak lama setelah mobil itu berhenti di antara antrian putar arah, sebuah sepeda motor melaju cukup kencang di tengah derasnya guyuran hujan. Tanpa bisa sepenuhnya ia kendalikan, pengendara motor itu berusaha memperjelas pandangannya yang samar akibat matanya yang terganggu hantaman debit air hujan. Pemotor itu berusaha menghindari lubang jalan di hadapannya dan membelokkan setang motornya ke sisi kanan jalan. Melihat lampu merah kendaraan beberapa meter di depannya menyala, pemotor itu lantas sigap meremas penuh kedua gerit rem tangan hingga membuat ban depan dan belakang motornya selip lalu oleng.

BRAAAKK ... motornya menubruk bagian belakang mobil mereka cukup keras.

"BOJOKU COPOT!" teriak latah Mas Itok saat benturan keras itu terjadi. Mas Itok langsung menyoroti kaca spion dan mendapati seorang pengendara sepeda motor sudah tergeletak di belakang mobilnya. "Wes, jancok iki! Sebentar Mas Gege, saya lihat keluar dulu." Mas Itok bergegas membuka pintu dan keluar menerabas hujan deras lalu menghampiri si pemotor.

Sementara itu, baik Gege dan Ghean sama-sama terdiam kaget. Situasi di dalam mobilpun seketika hening, yang ada hanyalah bunyi alarm yang bersumber dari jam tangan Gege disertai kedap-kedip warna merah di layarnya.

Seketika itu, Ghean tersadar bahwa ada yang tidak beres dengan alarm tersebut. Melihat Gege yang masih terdiam kaku, menoleh ke luar jendela dengan kedua tangan meremas dengkulnya, Ghean berinisiatif menepuk pelan bahu Gege.

"Pak ... itu ... jamnya bunyi." ujarnya was-was.

Gege tak menggubris teguran Ghean. Ia tetap membisu dengan napas yang terengal-engal. Napasnya kembang kempis satu-satu seperti orang yang sedang terkena serangan panik.

Through Her EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang