Bagian 29 : Bianglala & Pujian

6.3K 1.2K 79
                                    

29

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

29. Bianglala & Pujian

Pukul tujuh malam waktu setempat, Azam dan Iris memutuskan pergi ke pasar malam yang tak jauh dari danau. Suasana pasar yang buka setiap malam hari itu tampak ramai pengunjung.

Banyak pedagang makanan, sandal, baju, wahana permainan anak, bianglala raksaksa dan lain sebagainya. Namun nyatanya, Azam tak terlalu suka datang ke tempat seperti itu.

Sedari sore setelah Iris memberikan nomer kepada pemuda tak dikenal, sejak saat itu pula tampang Azam tak berubah sedikit pun. Datar. Hanya satu kata yang mampu mendeskripsikan gimik wajah lelaki itu.

"Kak," Iris menyenggol lengan Azam. "Kak Azam masih marah, ya?"

Yang ditanyai langsung melengoskan pandang ke samping kanan. Tepat ke arah pemancingan mini khusus anak kecil. "Nggak."

Iris berdecih. "Yaudah, deh. Aku minta maaf. Lagian, yang aku kasih tadi itu bukan nomer pribadi tau."

"Terus?" Tanya Azam ingin tau.

"Nomernya tukang jamu langganan Papa, hehe." Iris nyengir. "Apa banget coba ngasih nomer sendiri ke orang nggak dikenal? Kek .. ewh,"

Azam manggut-manggut. "Ohh,"

"Beli itu, yuk!" Ajak Iris ke pedagang cilok bakar. "Ayokkk!" Gadis itu menggeret lengan lelakinya karena dia tak beranjak dari tempat sedikit pun.

"Pak, cilok bakarnya sepuluh ribu, ya." Pinta Iris kepada penjual setelah raganya bertempat disamping gerobak. "Yang pedes."

"Pedes banget, apa pedes biasa, Neng?" Tanya bapak penjual seraya mengipasi arang.

"Extra ped-"

"Nggak pedes." Azam menyela. "Saya lima ribu. Cilok sama tahu kasih sambel dikit."

"Ck! Kak Azam apaan, sih?" Iris melayangkan protesan nya. "Ini makanan aku. Jadi terserah aku dong mau dikasih sambel berapa banyak."

Dagu Azam mengarah ke perut Iris. "Kasian."

Kening Iris mengkerut. Begitupula sang penjual yang diam-diam menguping pembicaraan. "Kasian apa?" Iris menunduk menatap perut sembari mengelusnya.

Pandangan Azam kembali fokus ke arah cilok dan tahu yang sudah dibakar diatas arang. "Dede bayinya."

"Hah? Dede bayi apaan?" Iris makin dibuat tak faham dengan perkataan lelaki jakung disamping nya itu.

"Ohh .. si Eneng lagi hamil, ya?" Penjual cilok tersebut menyahut. "Iya, Neng. Bener kata Suaminya. Kalo hamil gaboleh makan yang pedes terlalu banyak."

"Ntar bayinya kalo udah lahir bisa belekan, loh. Nggak jadi ganteng kayak si Mas ini." Sambungnya tak lupa menunjuk paras Azam di akhir dialog.

Sahutan penjual cilok itu berhasil memancing smrik Azam. "Makasih, Pak." Tuturnya sopan dengan nada datar seperti biasa. Seolah tak ada melodi yang mengiringi penuturan lelaki itu.

Admirer Rúnda [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang