06. Terlintas
Pukul tiga sore lebih dua puluh menit, Iris keluar dari ruang kelas lengkap dengan mimik wajah tak mengenakkan tuk dilihat.
Dengan perasaan sebal, gadis itu berjalan menyusuri koridor kelas sebelas sampai ke gerbang depan tanpa adanya teman yang mendampingi.
Katanya, sih, kelima teman barunya itu sibuk dengan eskstrakulikuler tari yang biasa di laksanakan setiap hari Senin dan Rabu.
Noda kuning di seragam putihnya masih jelas terlihat walau sudah di basuh beberapa kali oleh Iris. Sepatu dan roknya juga nampak basah terkena air basuhan.
Sungguh. Hari Senin, adalah hari tersial menurut Iris. Terlebih, hari ini adalah hari dimana dia menjabat sebagai siswi baru di sekolah impian. Tak lupa, bertemu dengan Azam sang pujaan hati.
Tetapi, mengapa harus ada kejadian memalukan seperti tadi? Beruntung yang menabrak nampan adalah Azam. Kalau bukan, dapat di pastikan Iris akan langsung menyerang titik utama sang pelaku.
Iris menenteng kedua sepatunya sepanjang jalan. Sore ini, dia lebih memilih untuk berjalan kaki ketimbang memesan ojek online dengan alasan menghemat uang jajan.
Gadis itu bolak-balik meringis ketika merasakan perih di area kulit dadanya. Kulit putihnya nampak memerah karena ketumpahan kuah soto tadi siang.
"Ini semua, gara-gara Kak Azam!" Iris mendumel. "Seandainya yang nabrak bukan dia, udah gue pasti'in tu orang babak belur."
"Shh ... perih," Iris mengaduh. Netranya menatap ke sekitar jalan. Banyak pasang mata yang mengarah kepadanya. "Apaan, sih, pada ngeliat-ngeliat? Iya, gue tau kalo gue ini cantik. Tapi gausah ngeliatin sampe kayak gitu, dong."
Tengah asik mendumel, Iris di kejutkan dengan suara klakson mobil dari arah belakang. Secara otomatis, ia makin menepi ke pinggir jalan. "Ya Allah .. padahal udah minggir. Masih .. aja di suruh minggir. Emang jalanan ini punya Nenek monyang nya?"
Iris berdesis melihat mobil sedan mewah melintasi dirinya. "Mobil doang keren, pasti yang punya buluk."
Di perempatan jalan, gadis itu hendak menyebrang. Namun urung ketika melihat seorang ibu-ibu sedang kesusahan membawa barang belanjaan.
Karena prihatin, Iris berjalan menghampiri. "Biar saya bantu, Bu."
"Eh, aduh. Gapapa. Saya bisa sendiri, kok." Tolak wanita paruh baya berparas cantik itu.
"Gapapa. Sini biar saya bantu bawain." Iris menenteng dua keresek belanjaan, membawanya sampai ke depan bagasi mobil. "Ibu sendirian aja? Kalo boleh tau, Suaminya kemana?"
"Suami saya masih kerja di kantor." Jawabnya, ramah. "Kamu baru pulang sekolah, ya?"
Iris mengangguk. "Iya. Barusan aja."
"Sekolah dimana?"
"Di SMANDA, Bu."
"Ohh .. satu sekolah sama anak saya, dong."
KAMU SEDANG MEMBACA
Admirer Rúnda [Completed]
Romance"Semesta bercanda mempertemukan kita dalam sebuah rasa. Aku yang buta aksara, terkagum padamu yang mengajarkan ku metafora." -Iris Jacinda *** Azam Kairav Bratanadipta. Hanya tiga kosa kata nama yang mampu membuat seorang Iris Jacinda berdebar ketik...