47. RENCANA

104 3 0
                                    

47
EMPAT TUJUH
(RENCANA)

Untuk mencairkan suasana, Aldi berkata "Maaf, tadi… aku gak sadar !" Lalu ia tersenyum kaku

Elisa yang mendengar hal itu berkata "iya, gak papa."

Aldi menggaruk kepalanya. Ia tak mengerti bagaimana bisa ia hampir mencium Elisa. Saat itu kesadarannya seolah menghilang dan otaknya kosong.

"Ada apa dengan gue ya ?" Batin Aldi.

Setelah Aldi mengatakan hal itu, keadaan kembali hening. Elisa yang tak menginginkan hal itu, segera mencoba mencairkan suasana meskipun sebenarnya ia sedang menahan rasa malu.

"ngomong-ngomong. Kenapa kamu tanya hal itu, terlebih lagi sikapmu sangat aneh. Apa kamu cemburu ?" Ucap Elisa.

"Nggak ? Kata siapa kalau aku cemburu !" Ucap Aldi tanpa melihat Elisa, dan sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Segitunya dia gak suka sama aku ! Padahal… aku gak kalah cantik dari Dewi." Batin Elisa sebel.

Entah kenapa saat ini Elisa merasa sedih dan kesal. Ada sesuatu yang bergejolak di dadanya sampai-sampai ia ingin memukul sesuatu. Namun ia menahan dirinya, agar tidak membuat dirinya lebih malu di hadapan Aldi. Ah… itu sangat menyebalkan, pasalnya Elisa sudah berusaha keras menahan rasa malunya selama ini di hadapan Aldi semua menarik perhatian pria itu. Tapi usahanya tak banyak berhasil, dan itu membuat Elisa sedih. Dalam benak Elisa, ia mulai bertanya-tanya, apakah cinta Aldi pada Dewi setinggi gunung dan sedalam lautan, sampai-sampai  Elisa tak bisa menaklukkannya ?

Elisa melirik Aldi, ia tersenyum lamah lalu berkata "Kalau cemburu juga gak papa kok. Wajar malah kalau ada rasa cemburuan pada pasangan. Yang gak wajar itu, saat rasa cemburu itu sudah gak ada lagi."

"Terserah kamu lah !" Ucap Aldi cuek, dan masih tak melihat kearah Elisa. Namun pria itu tersenyum tipis, tanpa Elisa sadari.

"Oh Ya, bulan madu Kitakan tinggal 2 hari lagi. Gimana kalau besok kita jalan-jalan seharian besok." Tanya Elisa yang mengalihkan pembicaraan.

"Jalan-jalan… kemana ?" Tanya Aldi.

"Kemana aja. Misalnya berjalan kaki sambil membeli oleh-oleh, jalan di pantai, makan di restoran. Ya… terserah kamu lah pokoknya, yang penting bukan klub malam."

***

Seorang wanita paruh baya, melempar vas bunga ke dinding. Membuat vas itu pecah berkeping-keping. Lalu wanita paruh baya itu menatap seorang wanita yang lebih muda di sampingnya dengan wajah marah. Lalu berkata dengan nada tinggi.

"Bagaimana bisa kita di usir dari rumah kita sendiri !" Ucap wanita paruh baya, yang tak lain adalah Lusi, ibu Dewi.

Dewi yang mendengar hal itu tertawa sinis, lalu berkata "Rumah kita ? Hah… sepertinya mami lupa kalau rumah itu milik Aldi."

Fakta jika rumah yang selama ini ditinggali ibu dan adik Dewi atas nama Aldi tak bisa di bantah. Begitu halnya dengan apartemen yang Dewi tinggali bersama Aldi selama ini. Aldi memberikan rumah mewah itu setelah satu tahun dewi berpacaran dengan Aldi. Hal itu Aldi lakukan karena merasa kasihan saat melihat rumah Dewi yang kecil dan berada di pinggiran kota. Belum lagi rumah itu masih ngontrak. 

Karna rasa kasihan itu, Aldi membeli keluarga Dewi rumah yang mewah di perumahan elit. Dan semenjak itu mereka mulai hidup mewah dan suka berfoya-foya, tentunya dengan uang Aldi. Kini setelah bertahun-tahun lamanya, tentu sulit bagi Lusi dan Karin untuk beradaptasi dengan kehidupan sederhana lagi.

"Tapi pacarmu kan sudah memberikannya pada kita !" Ucap Lusi emosi.

Lusi melirik ke sekelilingnya. Saat ini ia berada di kontrakan kecil dan sangat sederhana. Hal itu karena beberapa hari yang lalu, mereka diusir paksa dari rumah mewah yang sudah mereka tempati selama bertahun-tahun. Belum lagi kartu kredit yang pernah Aldi berikan, telah di blokir. Tak ada yang tersisa kecuali barang-barang waan mereka. Hal serupa juga terjadi pada Dewi, ia diusir paksa oleh petugas apartemen. Ia sudah mencoba melawan petugas itu dan sudah menghubungi Aldi, namun no Aldi tak aktif. Pria itu menghilang.

"Dia memberikannya secara lisan mi, bukan tulisan. Secara hukum rumah itu masih milik Aldi, jadi dia bisa saja mengusir kita kapanpun yang dia mau." Jelas Dewi.

Ya, Aldi hanya memberikannya secara lisan, bukan tulisan. Sertifikat rumah masih atas nama Aldi, jelas dia bisa mengambilnya kembali karena secara hukum aldi-lah pemilik yang sah. 

"Apa separah ini pertengkaran kalian ?" Tanya Lusi memastikan.

Dewi mendesah kasar. Ucapan ibunya barusan itu kembali membuka lama, padahal Dewi sangat ingin melupakan pria itu untuk sementara waktu. Ya… semenjak Aldi meninggalkannya, kehidupannya sangat kacau. Ia selalu pergi ke club malam, dan pulang saat pagi dalam keadaan mabuk berat. Jika ditanya apa yang dia lakukan di klub malam itu, ia mabuk untuk menghilangkan sejenak bebannya, berkenalan dengan banyak pria, berdansa, dan *****. Berharap hal itu bisa membuatnya lupa pada Aldi. Dan… cara itu sedikit berhasil, ia bertemu pria tampan yang kini menjadi pacarnya. Lebih tepatnya pelariannya karena kenyataannya Dewi belum bisa melupakan Aldi. Bahkan ia masih berharap jika hubungan mereka akan membalik suatu hari nanti.

Ia masih berharap Aldi menyesali ucapannya yang gegabah waktu itu, lalu memohon untuk menjadi pacarnya lagi. Mungkin tidak sekarang, tapi ia yakin pria itu akan kembali padanya. Lagipula ini bukan kali pertama mereka putus.

"Mi, ini bukan pertengkaran biasa, kami bahkan sudah putus ! Tak ada harapan lagi dalam hubungan kami." Ucap Dewi.

Ucapan itu tak sesuai dengan hati Dewi. Sebenarnya ia mengatakan hal itu agar ibu ya tak berharap lebih untuk saat ini. Terlepas dari itu semua, ia merasa dadanya sakit saat mengadakan hal itu.

"Ya… tapikan… beberapa tahun yang lalu, kamu pernah putus sama Aldi. Tapi kita gak pernah di usir tuh dan kartu kredit gak di blokir. Setelah beberapa bulan kalian baikan dan gak ada masalah serius ! Coba dekati dia lagi, mami yakin Aldi akan memaafkan mu dan semua akan baik-baik saja seperti biasanya !" Ucap Lusi yang semakin marah pada sikap anaknya.

"Sudahlah mi. Mami gak perlu mengharap Aldi lagi." ucap Dewi yang mulai kesal dengan sikap ibunya yang dinilai terlalu banyak menuntut.

"Gak perlu mengharapkan Aldi ? Lalu, bagaimana dengan aku dan adikmu. Kami sudah terbiasa hidup mewah, dan sekarang kau memaksa kami kembali hidup merana. Tidak, aku tidak mau !" Ucap Luis tegas.

"Kalau begitu, mami menikah saja lagi dengan duda kaya yang sudah bau tanah, bau tanah ! Toh papa juga gak ada gunanya lagi !" Ucap Dewi.

"Jaga omonganmu ya, aku ini wanita yang melahirkan mu !" Ucap Lusi sambil menunjuk Dewi.

"Aku mengerti, tapi mami yang gak pernah mengerti aku. Aku sudah lelah menjalin hubungan dengan Aldi. Terutama berhubungan dengan ibunya ! Apa mami tahu, bagaimana dia memperlakukanku ! Dia menghinaku !" Ucap Dewi bohong.

Hatinya sakit saat mengatakan hal itu. Ia sangat mencintai Aldi, namun ia tak ingin mengemis cinta Aldi. Ia ingin Aldi yang mengemis cinta ya, sama seperti dulu.

"Kamu kan bisa bersabar. Lagi Pula, wanita tua itu selalu seperti itu pada kita, lalu kenapa sekarang kamu menyerah begitu saja ! " Ucap Lusi yang menyinggung ibu Aldi.

"Seandainya kau tidak egois, pasti kau sudah menjadi nyonya Aldi Kusumo !" sindir Lusi.

Sebenarnya Lusi selalu menasehati anaknya untuk segera menikah dengan Aldi, mengingat mereka sudah lama tinggal bersama tanpa status yang jelas. Tapi apa yang bisa ia lakukan ketika anaknya tak pernah mendengarkan ucapannya. Dewi terlalu keras kepala, dan terlalu takut menghadapi kehidupan pernikahan.

"Mi !" Ucap Dewi marah, tak terima dengan ucapan sang ibu.

"Pokoknya mami gak mau tahu. Kamu harus kembali dengan Aldi ! Mami gak mau hidup susah !"

Karena tak ingin berdebat lagi, Dewi memilih pergi dari kontrakan kecil mereka. Meninggalkan Luis yang sedang marah sendirian.

"Dewi, kamu mau kemana ! Mama belum selesai bicara !!! Ingat ucapan Mami, akan datang hari dimana kamu akan menyesali keputusan yang sudah mau ambil selama ini !" Teriak Lusi.

Saat Dewi keluar, ia sedikit kaget pasalnya para tetangga melihat kearah rumahnya. Hal itu membuat Dewi kesal, dan juga malu. Mereka sudah terbiasa hidup di apartemen dan rumah mewah yang besar dan megah jadi saat mereka bertengkar tak ada yang akan menguping. Tapi sekarang karena ia mengontrak di kawasan perumahan yang padat penduduk, jelas pertengkaran mereka menjadi bahan tontonan dan gunjingan tetangga.

WASIAT AYAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang