"Tekanan yang dialami Jesi membuat keadaan mental Jesi semakin buruk, ia sering sekali berteriak ingin mati, lelah dan saya meminta kalian untuk segera pindah dari sini. Saya melihat di internet tentang foto Jesi dalam keadaan pingsan dan jika Jesi tahu pasti ada hal buruk yang terjadi." Ucap seorang psikolog yang menangani kondisi Jesi selama sebulan, namanya Alice - perempuan ini berdarah Indonesia. Jadi selama di Italia keluarga Jesi tidak mengalami kesulitan bahasa karena psikolog bisa berbicara bahasa Indonesia.
Elena menarik napas sejenak. Ia menatap Jesi yang masih memejamkan matanya, ada perasaan bersalah karena harusnya ia lebih hati-hati untuk keluar rumah. Sudah membawa Jesi sejauh mungkin tapi tetap saja ada yang berhasil mendapatkan foto Jesi.
"Mas..."
Radika menoleh. "Kalau sudah tenang saya harus kembali ke Indonesia."
"Sudah. Maaf... Foto itu aku tidak tahu siapa yang menyebarkan di sosial media." Jelas Elena. Ia tidak mau Radika salah paham pada dirinya.
"Bukan salahmu. Saya pamit pulang ya, kalau ada apa-apa kamu bisa hubung Dylan dan saya."
Elena mengangguk. Setelah Radika tak lagi di depannya Elena segera mendekati Jesi yang masih menutup mata, dia memandangi lekat-lekat Jesi yang kini terbaring lemah di ranjang. Elena mengambil ponselnya lalu mengetik sesuatu untuk seseorang.
Hai, Ma, Pa, aku dan Kak Jesi di Italia. Bisa ke sini? Kondisi Kak Jesi sedang tidak baik-baik saja.
Jesi kenapa lagi?
Elena langsung menelepon papanya karena terlihat langsyng membalas pesan, Elena melakukan panggilan video call. "Pa, sibuk?"
"Lumayan El, kenapa?"
"Mama?"
"Mama lagi pergi sama temannya. Ada apa dengan kakakmu?
"Kesehatan mental kakak terganggu." jawab Elena
"Masa sih bukannya kakakkmu baik-baik saja?"
Elena menggeleng. "Pa, kapan ke Italia?"
"Papa sibuk El, kalian butuh apa? Uang? Biar papa kirim buat kalian. Kan ada dokter, apa dokternya kurang bagus? Kalau kurang nanti Papa cari dokter yang terbaik di Italia." Jelasnya
Elena terdiam. Ia mematikan sambungan telepon sepihak setelah mendengar penjelasan dari papanya, ia kembali menonaktifkan ponselnya. Ia pikir papanya bisa meluangkan waktu untuk anaknya ternyata tetap egois. Elena tidak mau menghabiskan waktunya karena berdebat dengan papanya, ia memilih fokus menyembuhkan Jesi.
"Kak?" Elena bangkit dari tempat duduknya ia mendekat Jesi yang perlahan membuka matanya, "Mau minum?"
Jesi menggeleng. "Di mana Radika?"
"Kak... Aku tahu kehilangan itu berat, tapi dia bukan obat yang tepat untuk kakak. Lepasin dia ya,"
"El... Dia masih peduli sama aku, artinya masih ada ruang untuk aku."
"Kak please ... Mulai hidup baru ya," Elena mencoba memberi pengertian. Dokter menyarankan tidak memberi Jesi tekanan tapi Elena merasa jengah, ia tidak mau Jesi bertindak seenaknya..
Jesi terdiam. Padahal saat Radika berada di dekatnya ia merasa tenang, merasa bahwa dunianya masih baik-baik saja. "Mau telepon Radika, El."
Elena menggenggam tangan Jesi. "Jangan sekarang ya, Mas Dika sibuk."
"Sibuk di kantor?"
Elena mengangguk. "Kakak mau melukis?"
Jesi terdiam sejenak. Melukis adalah cara dirinya mengobati mentalnya, semenjak kejadian yang dilakukan Riyanti hidup Jesi penuh tekanan sampai akhirnya ia memutuskan pergi ke Italia diam-diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Cup Of Coffee(END)
RomantizmBagi Radika melamar kekasih di kapal pesiar sebuah momen indah yang nanti ketika mereka menikah, lalu menua bersama akan terus teringat di kepala. Sayangnya malam di mana lamaran itu berlangsung tiba-tiba Jesi- kekasih Radika menolak lamaran di depa...