08|Lampu

722 122 6
                                    

Perihal perasaan manusia memang tidak ada yang bisa dijelaskan, sekeras apapun bercerita kepada orang lain. Terkadang mereka hanya sok tahu dan tidak paham harus bagaimana berperilaku.

Sedih, marah, senang, dan emosi lainnya. Hanya orang tertentu yang benar benar bisa menyeimbangkan semuanya, atau malah tidak ada?

Yang sering marah marah akan dianggap sebagai orang yang galak dan tidak sabar

Yang sering menangis akan dianggap lemah dan rentan

Yang sering mengeluh akan dianggap kurang bersyukur, seperti Aldevan.

Keinginan untuk pindah sekolah sudah terkabul. Ayahnya sudah mengurus surat kepindahannya, karena Amina mengenal kepala sekolah Giwang juga mempermudah prosesnya. Mereka bisa membujuk untuk segera memasukkan Aldevan ke sekolahnya.

Malam itu, di kamar orang tua mereka. "Jadi besok kita ke sekolah?" tanya Robi

"Aku sendiri juga nggak apa apa kok, antar Devan sama Awang doang"

"Kita pergi sama sama aja, aku longgar besok"

Amina menatap Robi dengan senyuman tipis dan anggukan kepala.

Robi menghela napas teringat sesuatu, "Devan itu, meskipun suka ngeluh sebenarnya anak yang mandiri. Selalu menyelesaikan masalahnya tanpa campur tanganku, tiba tiba selesai aja urusannya. Kalau ditanya selalu bilang 'Ayah tenang aja, biasalah urusan cowo' sambil senyum. Senyumnya kelihatan nyebelin, maksud aku kalau butuh bantuan kan bisa bilang. Nggak perlu sok kuat"

"Caramu mendidik anak memang nggak pernah salah, Sherine juga jadi wanita mandiri yang kuat. Bahkan sampai sekarang aku nggak pernah lihat dia nangis. Devan juga selalu senyum, sapaannya itu selalu 'Bunda cantik', sikapnya itu sepertinya menurun darimu" kata Amina dengan senyum lebar yang mungkin baru saja terlihat setelah sekian lama

"Tapi aku gagal"

"Gagal tentang apa?"

"Giwang, dia bahkan belum pernah memanggilku. Apa jangan jangan dia tidak merestui kita, apa hanya terpaksa?"

Amina berjalan mendekati Robi di ranjang, "Awang mungkin butuh waktu untuk menyesuaikan diri, anak itu memang terlalu tertutup. Ya, karena bajingan tak tahu malu itu. Dulu Awang juga sering mimpi buruk, bahkan sampai SMP dia tidak mau tidur sendiri. Awang memaksa dirinya tidur sendiri setahun terakhir, mungkin dia ingin menjadi normal seperti anak laki laki lainnya dan tidak mau bergantung dengan ibunya"

"Jadi, maksudnya ada masalah? Kenapa nggak ke psikolog atau psikiater? Siapa tahu ada trauma, mantan suamimu itu memang ya..."

"Aku rasa Awang cuma terganggu dengan mimpi buruk, masalahnya nggak seserius itu. Hanya saja, takut suatu hari nanti dia kembali, mengambil Awang"

"Tenang saja, ada aku. Ayo kita hadapi bersama" kata Robi sambil memeluk istrinya.

.

.

.

.

.


Sedangkan di lantai atas, kamar anak anak keluarga Akbar bukannya segera tidur malah berdebat.

"Anjir, punya kelainan apa sih lo? Kalo tidur ya dimatiin lah lampunya!!!" kata Aldevan penuh penekanan

"Heh jamet, lo pindah kamar aja kalo gitu"

Two Brothers : Escape Room Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang