03|Matahari

885 156 8
                                    

Dia bersinar memberi kehangatan namun terkadang dia berlebihan hingga tidak merasa jika sinarnya melahirkan luka.

Dia Aldevan.

.

.

.

.



.


Kamar bernuansa biru gelap dengan satu ranjang itu sedang menampung seseorang yang tertidur dengan lelap, padahal ayahnya sedari tadi sudah memanggilnya supaya cepat bangun.

"Ini anak minta dibawain gayung kali ya baru mau bangun!? Devan bangun, bantuin ayah!" kata ayah Devan berdiri diambang pintu.

Aldevan masih dengan malasnya mengeliat di kasur kesayangannya. Ayah Devan memang berperan sebagai kepala keluarga sekaligus mengurus rumah. Meskipun Aldevan juga terlihat malas, dia paham bagaimana menempatkan dirinya, kadang kadang.

"Kakak pulang nggak yah?" tanya Aldevan masih dengan mata terpejam

"Nggak, kakakmu masih punya banyak urusan"

Hari ini adalah hari dimana mereka akan pindah ke rumah Giwang. Orang tua mereka sudah mantap untuk hidup bersama, setelah sekian perdebatan dan pertimbangan akhirnya diputuskan bahwa keluarga Aldevan yang akan pindah ke rumah Giwang.

Banyak barang yang harus dibereskan, rumahnya lumayan ramai dengan adanya orang orang yang membantu kepindahannya.

"Ayah, kira kira Mama lagi apa ya di sana?"

Ayah Devan tersenyum, "Nanti kita ke makam mama ya" dan dibalas anggukan antusias oleh Aldevan.

Ibu Aldevan sudah meninggal sejak dirinya masih kecil, bahkan suaranya saja Aldevan tidak ingat. Hanya terbayang wajahnya samar samar, itu juga karena foto foto jadul yang ayahnya simpan.

Hal ini yang membuat Aldevan tidak keberatan jika ayahnya memiliki pasangan baru, bertahan tahun mengurus dirinya yang nakal pasti melelahkan. Setidaknya biarkan masa tua ayahnya tidak kesepian.

Satu memori yang selalu diingat oleh Aldevan adalah saat pertama kali menaiki sepeda roda tiga di teras rumahnya.

Ayahnya sedang mengajarinya untuk mengayuh lebih kuat supaya sepedanya bisa bergerak lebih kencang. Aldevan kecil yang cengeng dan cerewet justru mengomeli ayahnya

"HUWAA AYAAAH, DEVAN INI NDAK KUAT KAYUH!!"

"Ayah.. peggangin Devan dong! Nanti jatuh"

"Ayaaaah!"

"MAMAAAAA, TOLOOONGGGG!!"

"HUWAAAAAAAAA!!!!!!"

Padahal sepedanya roda tiga, tidak berjalanpun tidak akan jatuh. Entah Aldevan kecil atau Aldevan remaja ternyata memang sama sama tukang protes.

Aldevan kecil yang masih terus mengomel meskipun air mata dan ingusnya sudah memenuhi wajahnya, membuat ayah Devan tertawa terbahak bahak, gemas dengan kelakuan anak keduannya ini.

Saat itu diakhiri dengan Aldevan yang merajuk, menangis lalu berlari menghampiri mamanya yang sedang menyirami tanaman, yang sudah dianggap dan dirawat layaknya anak ketiganya saja.

Ayah Devan mengosongkan lahan di depan rumah untuk memberi ruang istrinya berkebun. Banyak sekali tanaman yang ibu Devan rawat, bunga, sayur, dan bahkan ada buah buahan juga.

Two Brothers : Escape Room Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang