23|Kebebasan Giwang

551 108 42
                                    

Rumah besar kediaman Akbar terlihat lebih gelap, lampu terang yang selalu menyala tidak merubah apapun. Pagar besi yang kokoh seakan akan berkata bahwa setelah masuk tidak ada jalan untuk keluar, Giwang gelisah. Tepat didepan rumahnya, dia memantapkan hati, melapangkan dada, dan mengingat sebagian hal yang dia lakukan kemarin. Beberapa yang belum sempat dia pertanggung jawabkan didepan bunda.

Giwang menghela napas berat, memasuki rumahnya sendiri. Getaran ini terasa lebih meneyeramkan daripada menghadapi Robert dan Monna kemarin.

"Kenapa?" tanya Aldevan yang ikut berdiri disampingnya

Giwang menggeleng.

Bundanya sudah duduk menyilangkan kaki diruang tamu. Sibuk dengan ponsel, sepertinya selesai menelepon. Roman romannya suasana hati bunda sedang jelek sekali, raut wajahnya benar benar suram.

"Mandi, lalu ke ruangan bunda"

Giwang mengangguk, Aldevan kebingungan dan hanya mengikuti kemana Giwang melangkah. Aldevan menatap punggung Giwang, dia terlihat lebih besar namun dia seperti anak kecil yang kehilangan arah. Punggungnya lebar, bergerak naik turun dengan cepat, tunggu! "Wang?" ucap Aldevan menepuk pundaknya

Giwang terlihat gelisah namun tanpa sadar tangannya mengepal penuh emosi. "Wang, tangan lo.."

Aldevan berusaha mengikuti langkah kakinya yang berjalan dengan cepat, berusaha meraih tangan Giwang yang semakin kuat mengepal.

Setelah memasuki kamar mereka, Giwang terduduk bersimpuh disamping meja belajarnya. Aldevan memperhatikan dari belakang.

Aldevan menunduk menatapnya, tidak berkata apa apa.

Hening. Yang terdengar hanyalah napas Giwang yang tak beraturan.

Lantas Aldevan mengambil plester luka pada kotak kesehatan yang selalu diletakkan diatas lemarinya. Aldevan ingin memasangkan plester itu pada tangan Giwang yang tergores kukunya sendiri, belum sempat Aldevan memegang tangan Giwang, plaster itu ditepis kasar. Aldevan memandang adiknya yang masih menundukkan kepala.

"Kenapa? Mau sok sokan ngadepin semuanya sendiri?" tanya Aldevan dengan nada mengejek, sudah merasa Giwang punya masalah sejak keluar dari rumah Nizam

Tidak ada jawaban

"Lo pikir keren lo begitu? Nyakitin diri sendiri? Punya mulut punya telinga normal, kan? Lo bisu? Lo tuli? Ngomong lo, kalo ada masalah" Tambah Aldevan memaki maki Giwang karena kesal tidak mendapat jawaban

Sebenarnya Aldevan sudah cukup muak, melihat Giwang yang selalu belajar, selalu menurut pada bunda tapi masih saja dimarahi, saat tidak bisa menjawab pertanyaan bunda terkadang Giwang dibentak, tapi Giwang tidak pernah membicarakan hal itu kepada Aldevan, justru Aldevan yang melihatnya sendiri, bukan satu dua kali tapi malah setiap kali Giwang belajar sepertinya. Dia tidak memiliki waktu untuk melakukan hal lain, dia bebas hanya saat bersama teman temannya, meskipun temannya hanya tiga orang, yang paling akrab maksudnya. Mengeluh, sekalipun tidak pernah Aldevan mendengar Giwang melakukan hal itu. Meskipun setiap hari melakukan hal yang sama, Aldevan yakin Giwang cukup lelah dengan itu semua, tapi memilih untuk diam dan memendam.

"Gue nggak apa apa belajar sehari semalam, tapi gue nggak mau masuk ruangan bunda"

"Maksud lo? Itu bunda Wang, bukan orang lain. Paling lo cuma diceramahin kayak biasanya"

Aldevan tidak mengerti maksud Giwang, dan hanya menganggap hal ini seperti biasanya. Bedanya hanya tempat saja, tidak di ruang tamu tapi di ruang kerja bunda. Aldevan belum pernah masuk ke sana, kelihatannya tidak pernah dipakai, jadi Aldevan juga tidak terlalu ingin melihat ruangan itu.

Two Brothers : Escape Room Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang