19|Satu Juta Persen

466 93 48
                                    

Pipi Igemi yang memerah memicu semua amarah Aldevan. Giwang yang tertangkap basah sedang bersamanya, membuat Aldevan melampiaskan emosi itu pada Giwang, adik tirinya.

Netranya menatap Giwang penuh kebencian. Aldevan tidak menyukai orang yang melukai perempuan. Begitulah dia, setiap hari hanya hidup dengan ayahnya dan tanpa ada perhatian yang lebih lembut, membuat Aldevan juga menjadi orang yang keras dan sangat melindungi kakaknya, satu satunya perempuan yang dia sayangi selain ibunya. Sherine tidak bisa selalu ada di rumah, dia tidak mau membebani ayahnya yang selain harus mengurus Aldevan yang masih sekolah, juga harus mengurus kebutuhannya. Sherine memutuskan untuk belajar bisnis diluar kota dan membangun lapangan pekerjaannya sendiri. Kini Aldevan memiliki Igemi yang dia jaga sebaik mungkin, tidak akan dia biarkan orang lain melukainya.

"Minta maaf!" ucap Aldevan pada Giwang yang saat ini mereka sedang berhadapan.

Theo mengantarkan pulang Igemi. Sebelum suasana memburuk, Theo berinisiatif untuk memisahkan Igemi dengan mereka. Zayyan dan Nizam masih disana. Mengawasi kakak beradik yang sedang berselisih ini.

"Lo sabar dong!" ucap Nizam yang menatap Aldevan

"Lo diem, Zam!"

Zayyan menepuk pundak Nizam, "Habibi diam dulu, urusan keluarga Akbar"

Giwang menghela napas, "Gua nggak sala-"

"Terus pagi tadi lo kemana, hah?" Aldevan menyela

"Gue... Gue ke perpustakaan"

"Kenapa harus pagi pagi banget kalo cuma ke perpustakaan? Kenapa semalam nanyain dogi gue? Kenapa waktu gue latihan sama ayah lo ngintip dari jendela? Kenapa waktu itu lo suruh gue singkirin dogi gue? Kenapa sekarang lo sobek dogi gue? Kenapa lo mukul cewe gue? Kenapa? Lo iri? Lo pengen kayak gue?" Tanya Aldevan dengan nada membentak, matanya melotot menuntut jawaban dan penjelasan pada Giwang.

Giwang menggeleng,"N-nggak, gue.."

Dia merasa panik, pertanyaan yang Aldevan lontarkan tiba tiba sebanyak itu dan cukup membuatnya kebingungan. Satu pertanyaan saja sudah sulit Giwang jawab, apa lagi ini yang bersamaan dengan emosi. Bukan dia tidak punya jawaban, kalaupun berbohong pasti Giwang bisa melakukannya. Giwang anak yang pintar. Hanya saja dia butuh ketenangan untuk segala hal, seperti bunda yang saat belajar malah membentaknya, bukannya dia menjadi lebih fokus, hal itu justru membuat Giwang tertekan dan panik. Sama halnya dengan yang Aldevan lakukan saat ini.

"Kenapa? Lo gagu? Nggak bisa ngomong?" Aldevan berada dipuncak emosi. Apa yang dia katakan tidak disaring dan asal berbicara. "BISU LO?"

Nizam menarik pundak Aldevan, "Sabar cok! Nggak perlu hina Giwang!" nada bicaranya ikut naik, Nizam ikut emosi.

"Lo mau belain orang yang udah mukul cewe? Gue nggak peduli Zam, mau dia adik gue atau bukan. Salah tetep salah"

Giwang menatap Aldevan, melangkah mendekat. "Gue bukan adik lo, sejak awal gue bilang kalau gue masih tunggal" Giwang menatap Nizam, "Masalah kayak gini bukan hal besar. Nizam, lo nggak perlu ikut campur"

Giwang melangkah pergi, meninggalkan Aldevan dengan emosinya. Dia tidak peduli dengan apa yang terjadi

Rasanya tidak perlu menjelaskan apa apa karena sedari awal tidak ada yang percaya padanya, lebih baik diam dan membiarkan orang itu berkelahi dengan isi kepalanya sendiri. Giwang mengambil ranselnya yang tergeletak, kotor sudah.

"Wang... Giwang..." Nizam memanggilnya dan mengejar Giwang.

Sedangkan Zayyan masih di sana menatap Aldevan, selalu emosi yang bisa mengalahkannya. Kalaupun Zayyan memulai pembicaraan, Aldevan akan semakin menjadi jadi. Zayyan memilih diam dan mengawasi.

Two Brothers : Escape Room Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang