5. Haruskah Menyerah?

389 38 0
                                    


_________________________________________

"Dhika!!"

Gue menoleh ke belakang. "Mas Farez?!" Kaget anjir. Gue bingung harus bersikap kek gimana. Baru aja gue harap dia kangen. Eh udah kangen beneran.

"Lo punya waktu?"

Eh gimana ini anjir.

"Emmm...pu..punya, Mas."

"Ikut gue."

Nih orang kok labil banget. Tadi marah-marah sampe gebrak meja. Eh sekarang jadi baik banget. Malah mau ngajak gue ngedate. Eh tebakan gue aja sih biar seru.

Gue ikutin dia dari belakang. Gue sih maunya digandeng, tapi keknya dia belum siap. Gue dibawa ke salah satu taman di sekolah. Dan gue disuruh nunggu di bangku taman. Kayaknya mau dikasih surprise.

"Kenalin ini pacar gue."

"...."

Mas Farez kembali dengan membawa seorang cewek. Gue mematung, didada gue kek ada yang nusuk, sakit banget. Mana ceweknya cakep banget. Tahan, Dhika. Lo jangan nangis disini.

"Hai aku Jessica."

"...."

"Jadi, lo bisa paham kan kenapa gue nggak bisa sama lo. Selain gue cowok normal, gue juga udah punya pacar. Lo lebih baik menjauh dari kehidupan gue. Lo juga jangan ngejar-ngejar gue lagi."

"Ohh emmm iya, mas. Maaf selama ini aku udah menjadi duri di kehidupan Mas Farez. Aku juga sadar, aku nggak pantes bersanding sama kamu." Sesekali gue menyeka air mata gue yang lancang banget jatuh.

"Syukurlah kalo lo paham."

Gue memilih pergi. Nggak tahan gue pengen nangis sekeras-kerasnya. Apalah daya gue, cuma cowok modal nekat untuk mengejar cinta pertama. Ternyata gue belum siap untuk sakit dan luka gara-gara cinta.

"Eh Dhik, lo kenapa?" Gue nggak memperdulikan panggilan Nauval. Kebetulan ada taksi, jadi gue langsung pulang.

Kenapa gue harus terlahir dengan kondisi kayak gini. Nggak bisa ngerasain gimana rasanya suka sama cewek. Gue nggak bisa saingan sama cewek. Emang sih kalo berbeda itu lebih menyakitkan. Dan kalian tahu, mencintai cowok itu sakitnya ribuan kali lipat dibandingkan kalo mencintai cewek.

"Dhik?" Kayak suaranya Nauval. Kok dia bisa sampe di kamar gue.

"Gue pengen sendiri dulu."

"Kalo lo sendiri, apa lo punya tempat untuk meluapkan kesedihan lo?"

"...."

"Gue masuk ya."

Entah udah berapa kali tapi lagi-lagi gue meluk Nauval. Dia bener-bener tempat untuk meluapkan kesedihan yang gue alami. Cuma dia yang selama ini meminjamkan pelukannya buat gue.

"Nggak papa, Dhik. Lo bisa nangis sepuasnya di pelukan gue."

Nauval dengan sabar menunggu sampai gue bener-bener tenang. Ya sesuai dengan ucapan Nauval, gue nangis sepuasnya di pelukan Nauval.

Sampai sekitar tiga puluh menit air mata gue keluar. Mata rasanya udah kek sumur kering. Kelopak mata juga udah bengkak. Gue melepas pelukan Nauval. Eh kan gue yang meluk dia. Intinya gitu lah.

Gue duduk dikasur, dan Nauval masih setia disamping gue. "Jadi, sebenernya lo kenapa?" Tanya Nauval setelah melihat gue udah tenang.

"Tadi, Mas Farez ngenalin pacarnya ke gue."

"Dia punya pacar?"

"Gue juga baru tahu dia punya pacar. Selama ini gue ngiranya dia jomblo."

"Terus rencana lo gimana?"

Aku Mau Dia [BL] || End ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang