10. I Will Say No!

301 28 5
                                    


_________________________________________

Gue masih diam. Gue masih memantau Syarif dan Rona. Hasilnya, kalo dibilang sahabat keknya lebih. Nggak mungkin sahabat sampai dibilang couple goals. Nggak mungkin dong.

Gue mencoba menyelidiki. Tapi gue juga bingung harus nanya ke siapa. Gue nggak deket sama temen satu kelas gue. Baru hari pertama anjir. Tapi kalo memang bener mereka pacaran. Gue nggak akan terlalu sakit sih. Kenapa ya kita pacaran belum seumur jagung. Baru satu hari, jadi ya apapun itu nggak akan berdampak serius sih. Menurut gue tapi, ya soalnya gue belum terlalu sayang sama Syarif.

Awalnya gue kasihan kalo harus nolak Syarif. Karena gue tahu sakitnya ditolak mentah-mentah itu seperti apa. Tapi kalo kejadiannya bakal kek gini, gue nggak nyangka sih dibalik muka polosnya Syarif tersimpan jiwa playboy.

Istirahat pertama Syarif nggak ngajak gue ke kantin. Sumpah pacaran model apaan kek gini. Walaupun dalam diam apa salahnya ke kantin bareng. Masa iya cuma gara-gara ke kantin bisa ketahuan kita pacaran. Kan nggak.

"Lo nggak ke kantin?" Oh momen yang tepat sekali Rona nyamperin meja gue.

"Lagi males. Nggak laper juga sih."

"Oh gitu."

"Eh iya btw lo sama Syarif cocok loh." Gue sengaja pancing dia biar cerita semuanya ke gue.

"Masa sih?" Jawab Rona diselipkan tawa lembut.

"Iya lah. Gue baru tahu loh sampai anak satu kelas sorakin kalian couple goals."

"Iya sih itu memang julukan kita sejak awal kelas 8." Kan masuk perangkap lo.

"Emang ada apa diawal kelas 8?"

"Ya gue sama Syarif jadian. Waktu itu dia ngungkapin perasaannya didepan anak satu sekolah." Bangsat bener filing gue. Astaga Tuhan. Keputusan gue salah anjir.

"Terus kenapa waktu gue pindah ke sini lo nggak ada?"

"Oh itu. Di awal semester dua kelas 8, mama gue dipindahkan tugas ke Bangkok. Jadi, mau nggak mau gue harus ikut mama. Hampir enam bulan gue ldr sama Syarif akhirnya gue bisa kembali."

Gue rasa ada baiknya gue tahu lebih awal kek gini. Gue ngerasa bodoh sih. Nerima Syarif gitu aja. Padahal belum kenal satu sama lain. Untung baru kemarin, kalo udah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun mau jadi apa gue.

Hati gue sih nggak sakit denger kenyataan bahwa Syarif udah punya pacar. Tapi yang membuat gue kesel, ngapain dia deketin gue sampai nembak gue. Padahal dia punya pacar walaupun ldr. Dari sini gue rasa dia nggak bisa komitmen dan bukan tipe cowok setia.

"Lo juga keknya deket sama Syarif." Dih ngapain Rona nanya kek gitu.

"Gue baru kenal kok sama Syarif."

"Soalnya dia nggak pernah punya temen. Gue aja kaget waktu kalian berangkat bareng." Gue lebih kaget liat lo anjir.

"Gue juga nggak punya temen disini."

"Lo bisa kok berteman sama gue." Hati gue berkata tidak.

"Eh Ron, gue ke kantin dulu ya mau beli minum."

"Oke."

Alasan gue ke kantin sebenernya bukan beli minum. Gue mau denger penjelasan Syarif tentang semua ini. Kalo memang bener gue bertekad untuk pergi dari kehidupan Syarif. Sebelum gue tersakiti lebih dalam lagi.

Sampai di kantin gue liat Syarif nongkrong sama temen-temennya. Gue nggak kenal sih siapa mereka, keknya anak kelas lain.

"Syarif!"

"Iya."

"Gue mau ngomong bentar sama lo, bisa?"

"Bisa. Kita ke taman."

Gue kira kejadiannya sama kek dulu. Ternyata dia berbeda dengan Mas Farez. Dia masih bisa menghargai gue, dan nggak gegabah dalam bertindak.

Gue dan Syarif ke taman deket kantin, agak lumayan sepi sih. Pemilihan tempat yang tepat menurut gue.

"Lo cuma mau mainin perasaan gue?" Gue langsung to the point aja.

"Maksud lo?" Lo bodoh atau pura-pura bodoh.

"Lo pacaran kan sama Rona."

"Emm...."

"Maksud lo nembak gue apa coba? Jelas-jelas lo punya pacar. Lo cuma mainin perasaan gue! Atau lo cuma jadiin gue sebagai pelampiasan karena lo sama Rona ldr?! Sekarang lo jelasin semuanya ke gue!"

"Oke itu bener semuanya...."

"Jadi bener lo cuma mainin perasaan gue?"

"Dengerin gue dulu. Gue memang pacaran sama Rona, karena gue ngerasa kesepian aja selama gue ldr sama Rona."

"Makanya lo nembak gue?"

"Bukan maksud gue untuk mainin perasaan lo. Gue juga nggak nyangka Rona bisa kembali secepat ini."

"Itu salah gue juga sih. Terlalu cepat percaya sama lo. Kejadian ini juga membuat gue tahu satu hal."

"Apa?"

"Lo bukan yang terbaik buat gue. Lo dengan mudahnya membuat komitmen baru tapi lo lupa lo udah punya komitmen yang harus lo jaga. Lebih baik gue pergi dan menjauh dari pada suatu saat gue harus kena imbasnya karena mempertahankan hubungan kita. Gue akan berkata tidak jika lo mau hubungan kita lanjut. Gue mau kita putus aja walaupun belum genap satu hari. Lo fokus ke Rona aja. Makasih lo udah sedikit mewarnai kehidupan gue."

"Maafin gue, Bayu. Gue nggak bermaksud menyakiti perasaan lo. Gue tahu gue udah buat lo kecewa bahkan di hari pertama kita jadian. Semua ini diluar ekspektasi gue, diluar rencana gue."

Ternyata begitu mudah Syarif melepaskan gue. Mungkin karena Syarif udah lama juga pacaran sama Rona, jadi wajarlah dia nggak mau melepaskan Rona dengan mudah. Gue juga menerima keputusan Syarif dengan melepaskan gue. Oke lah gue jomblo lagi. Dari pada gue harus merasakan sakit.

Dengan berakhirnya hubungan gue sama Syarif, gue memilih kembali menjadi Bayu. Anak sultan dengan segala kemewahan. Memang sih kek ada dua jiwa dalam tubuh gue. Dulu gue sebagai Dhika, seorang anak yang menyembunyikan jati dirinya. Dan sebagai Bayu, mungkin bertolak belakang sih. Tapi cukup menyenangkan.

Bel pulang berbunyi, gue langsung menghubungi sopir gue. Kali ini gue suruh sopir gue bawa Lamborghini Aventador S Roadster. Emang kurang asik sih bawa mobil mewah tapi masih disopirin. Mau gimana lagi, gue belum punya SIM dan belum cukup umur juga.

Seperti biasa sopir gue masuk ke halaman depan sekolah. Tepatnya depan lobby. Sengaja sih biar bikin geger aja.

Samar-samar gue denger ada yang bilang. "Buset tuh anak bisa-bisanya gonta-ganti mobil terus tiap hari." Terus ada juga yang bilang. "Gila mobilnya keren banget anjir." Dan masih banyak lagi.

Karena suasananya mendukung, gue juga bawa kacamata hitam biar lebih keren. Dengan sedikit gaya gue pake kacamatanya dan masuk ke mobil.

"Buka aja pak biar nggak gerah."

"Baik, Tuan." Bagian atas terbuka. Dan kita melaju untuk pulang ke rumah.

Didepan gerbang sekilas gue liat Syarif dan Rona. Gue nggak bisa menyapa mereka. Bodoamat kalo mereka ngomongin gue itu sombong atau gimana. Gue nggak terlalu memperdulikan mereka. Ya gue liat sekilas mereka cuma bisa bengong liat gue. Terutama Rona.





Bersambung....
_________________________________________

Lagi-lagi sakit hati, kapan ya kira-kira Dhika bisa bahagia?

Maaf ya harusnya part ini updatenya kemarin. Sedikit curhat kemarin di daerah author nggak ada sinyal tiba-tiba aja ilang. Akhirnya baru update sekarang 😭

Tetep vote ya guys jangan lupa 💚

Aku Mau Dia [BL] || End ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang