3. Biasa Aja

431 40 5
                                    


_________________________________________

Sampai dikamar, gue melanjutkan tangisan gue yang tertunda. Berhubung ayah jemput gue jadi ya nangisnya gue pending dulu. Sekarang yang bisa gue lakukan cuma nangis dan mukul bantal.

Terlintas dipikiran gue, harusnya gue nggak ngomong dulu kalo gue suka sama Mas Farez. Tapi dia yang nebak kalo gue suka sama dia. Nasi udah kek bubur. Eh nasi udah jadi bubur. Gue nggak bisa berbuat apa-apa. Dia juga udah kek benci sama gue.

Hari ini juga penyakit males gue kambuh. Sekarang gue eneg lagi kalo liat gerbang sekolah. Beberapa hari terakhir sejak gue kenal Mas Farez, gue jadi bisa ngerasain gimana semangatnya berangkat sekolah.

Gue berusaha bersikap biasa aja. Kayak nggak ada apa-apa gitu. Ya paling kalo sakit hatinya kumat gue pergi ke kamar mandi. Nangis kejer sambil mainin tisu toilet.

"Dhika!!" Gue berhenti dan bersikap seperti patung. Ngapain sih dia manggil gue segala.

Gue pasang senyuman seperti biasa. "Iya, Mas. Ada apa?"

"Gue udah nanya Gilang, katanya nanti bisa konsultasi."

"Oo oke, Mas. Nanti aku siapkan semuanya."

Udah gitu aja nggak ada yang spesial. Dia langsung masuk kelas, nggak basa-basi bilang kangen kek atau apa gitu yang lebih mustahil lagi.

Kelas masih dalam kondisi nggak karuan. Dari ambang pintu juga hawanya masih banyak setan. Gue masuk, seketika Rinjani manggil gue. Tahu aja gue mau curhat.

"Ada apa?"

"Lah lo kenapa kok sensi gini? PMS lo?"

"Au ah gue mood gue lagi nggak bagus."

"Kenapa sih? Cerita dong."

"Gue ditolak sama Mas Farez."

"Serius?!"

"Muka gue kurang meyakinkan?"

"Meyakinkan banget sih. Sabar ya lo pasti bisa dapet yang lebih baik."

"Nggak pokoknya gue harus dapetin Mas Farez. Gue nggak akan nyerah gitu aja. Baru ditolak sekali masa udah nyerah, bukan gue banget."

"Terserah lo sih. Gue akan selalu dukung apapun keputusan lo. Tapi btw hati lo baik-baik aja abis ditolak? Nggak sakit gitu?"

"Biasa aja." Aslinya mah air mata gue udah satu bak mandi. Biar nggak kelihatan cengeng aja. Gengsi dong.

Sesuai dengan jadwal, kali ini jam pulang gue sedikit lebih mulur. Karena rapat kali ini sangat penting, makanya gue nggak bolos. Walaupun dengan hati yang masih retak, mata yang sedikit bengkak.

Bener aja nggak ada satu anggota pun yang bolos. Semua hadir di ruang OSIS. Duduk melingkar di meja bundar. Dan kalian bisa nebak gue duduk disamping siapa.

"Ini bahan untuk presentasi kita, Mas."

"Oke."

Oke. Masih cuek.

"Selanjutnya untuk tim public speaking, silahkan menyampaikan sistem seleksinya." Ayo lo bisa walaupun ini membuat hati lo semakin sakit.

"Siap, Mas?"

"...."

Please lah jawab setidaknya satu kata. Mas Farez langsung maju ke depan, sama sekali nggak ngajak gue. Sabar Dhika.

"Baik untuk tahap public speaking adalah...."

Gue hanya sesekali berucap. Nggak seperti tim lain yang terbangun chemistrynya. Gue sih mencoba buat kek interaksi sedikit waktu persentasi. Tapi itu malah buat gue malu sendiri. Soalnya Mas Farez mencoba menganggap gue ini nggak ada. Jadi kek interaksi yang coba gue bangun nggak berhasil. Malu banget, campur sakit hati lagi. Dicuekin itu sakit BANGSAT!!!

Aku Mau Dia [BL] || End ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang