9. Muhammad Syarif Alfarizi

317 29 4
                                    


_________________________________________

Sejak kejadian dikantin, Syarif semakin gencar mendekati gue. Walaupun gue masih dalam mode cuek, tapi dia sama sekali nggak gentar. Ternyata gini rasanya dikejar-kejar. Apa gue coba buka hati gue ya. Semakin lama gue cuekin Syarif, gue semakin sadar dan paham dengan perasaan Syarif.

Bagaimanapun gue pernah diposisi Syarif. Mencintai tanpa dicintai. Mengejar tapi tak tergapai. Mungkin sudah saatnya gue melupakan Mas Farez.

"Lo di jemput?" Panjang umur. Syarif menghampiri gue di gerbang utama.

"Iya."

"Bareng gue aja, emm tapi gue naik sepeda." Keknya seru udah lama gue nggak naik sepeda.

"Emm boleh deh."

"HAA!! Lo....lo mau? Lo terima ajakan gue?" Sumpah ekspresi Syarif lucu banget.

"Telinga lo masih normal kan?"

"Ma...masih. Tapi beneran lo mau ikut gue. Panas tahu naik sepeda."

"Beneran Syarif. Kalo lo nggak mau ya udah gue nunggu sopir gue aja."

"Ehhh jangan. Masa iya gue sia-siakan kesempatan."

Sebelum gue naik ke sepedanya Syarif gue menghubungi sopir gue, biar dia nggak jemput gue. Berhubung udah lama gue nggak naik sepeda, gue agak kaku gitu. Mana gue bonceng di belakang lagi.

"Lo pegangan pundak gue biar nggak jatuh. Sayang kalo muka seimut lo harus nyium aspal." Pake ngegombal lagi.

"Bisa gombal lo?"

Ya gimana lagi. Ini pertama kali gue nyentuh tubuh Syarif. Gue pegangan di pundaknya. Dan dia melajukan sepedanya. Ternyata seru juga pulang sekolah naik sepeda kek gini.

Saking serunya gue mencoba melepas pegangan gue. "Hati-hati nanti lo jatuh! Pegangan aja nggak usah banyak gaya!"

"Iyaa bawel banget." Emang bahaya sih kalo harus beradegan kek Titanic di atas sepeda.

"Oh iya rumah lo disebelah mana?"

"Didepan belok kiri."

"Rumah lo yang mana."

"Tuh." Gue nunjuk kearah kondominium gue. Syarif berhenti tepat di depan gerbang kondominium.

"Ini rumah lo?"

"Iya."

"Gede banget anjir. Ternyata lo orang kaya beneran."

"Masuk yuk." Ajak gue. Walaupun sampai depan pintunya masih jauh. Baru masuk gerbang aja.

"Sumpah gue kek ngimpi bisa masuk rumah seluas ini." Gue jadi paham. Sepertinya nggak semua anak Cakrabuana berasal dari keluarga yang berada. Mungkin gue harus mengurangi intensitas sombong gue didepan Syarif.

"Lo duduk dulu aja, gue mau ganti baju dulu. Kalo lo mau minum panggil Bi Ijah aja."

"Ohh oke."

Gue meninggalkan Syarif dan menuju ke kamar. Lumayan lama sih. Tahu sendiri kan kamar gue dilantai tiga. Astaga kok masih sombong sih, maaf ya gue khilaf.

Ketika gue kembali, Syarif masih ada diposisi yang sama. Nggak berubah walaupun satu jengkal. Keknya dia canggung banget.

"Kok lo nggak minum?"

"Hehe nggak usah lah. Ngerepotin nanti."

"Nggak kok santai aja. Anggap aja rumah sendiri." Akhirnya gue panggil Bi Ijah. "Bi!! Bikin minum dua!!"

"Baik, Tuan." Teriak Bi Ijah dari kejauhan.

"Kalo gue harus anggap rumah sendiri mah nggak bisa. Rumah gue nggak sebesar ini anjir."

Aku Mau Dia [BL] || End ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang