01_Tamu Agung

6.8K 402 178
                                    

Halo! Akhirnya Book Hawa release! Tinggalkan banyak komentar kalau kalian suka! Sekali lagi saya mencoba latar belakang dengan tahun yang berbeda dari book sebelumnya. Mari berimajinasi pada masa tempo doeloe bersama karya Ismail Marzuki.

..

Di wajahmu kulihat Bulan yang mengintai di sudut kerlingan.

Sadarkah Tuan kau ditatap insan yang haus belaian?

Di wajahmu kulihat Bulan menerangi hati gelap rawan, biarlah daku mencari naungan di wajah damai rupawan.

Serasa tiada jauh dan mudah dicapai tangan.

Ingin hati menjangkau kiranya tinggi di awan.

Di wajahmu kulihat Bulan bersembunyi di balik senyuman.

Jangan biarkan ku tiada berkawan.

Hamba menantikan Tuan.



Surakarta, 1962

Untaian lirik lagu milik Ismail Marzuki yang menjadi favorit Asmaranti tertoreh pada selembar kertas dengan tulisan tangan yang ia tahu siapa penulisnya. Entah sudah berapa ratus kali ia membaca. Disimpannya kertas berwarna kuning tersebut di dalam sebuah buku lapuk yang selalu ia bawa ke manapun.

Harsya Ahmad, laki-laki yang menjadi dambaan Asmaranti semenjak ia mengenalnya tiga tahun yang lalu saat Haji Syachroni mempertemukan keduanya di acara punggahan. Asmaranti ingin segera bertemu sesampainya ia di rumah kedua orang tuanya. Maklum sebagai anak rantau -ia numpang hidup dan sekolah dibiayai sang Kakak, Asmaranti menyimpan kerinduannya seorang diri.

"Assalamu'alaikum!"

Kedatangan gadis itu disambut kicau burung yang hendak pulang ke sarang, meloncat-loncat dari ranting ke ranting sebelum cakrawala berubah menjadi jingga. Lelah selama perjalanan seketika pudar saat melihat senyum Bapak dan Ibu yang menyambut di halaman rumah dengan pagar tanaman tersebut.

Daun-daun kering berjatuhan dari Pohon Asam yang berdiri tegak di ujung halaman seolah mirip konfeti penyambutan Asmaranti kembali ke rumah. Anak bungsu dari tiga bersaudara itu memang tidak seberuntung kedua kakaknya yang pernah merasakan kemewahan saat kecil, namun baginya berada di pelukan keluarga cukup membuatnya bahagia.

Bahkan bila perlu di pelukan Mas Harsya, begitu ia menyebut nama lelaki itu di dalam doanya. Ah, membayangkan saja sudah membuat pipi Asmaranti berubah merona seperti kepiting rebus.

"Anti pulang, Buk!"

Jarik Ibu diangkat sedikit ke atas supaya lebih mudah menghampiri sang putri yang dirindukan tawanya, kerudungnya yang asal-asalan tersampir di kepala hampir melorot saking buru-buru menerima pelukan sang putri.

Hawa (Perempuan Dalam Pelukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang