25_Percik

3K 283 519
                                    

Hai! Maaf lama update, semoga kalian masih sabar menunggu akhir dari cerita ini. 500 Komen untuk lanjut, terima kasih.

..

Pagi ini gudang tebu menjadi hiruk pikuk, kasak kusuk terdengar di mana-mana. Ini adalah kali kelima pasokan tebu yang ada di dalam gudang raib sebagian, Satyo berdiri di salah satu sudut gudang mengamati dan menerka bagaimana bisa berpuluh ikat tebu menghilang begitu saja tanpa satupun orang yang sadar.

"Lapor ke polisi saja, Den?" ujar salah satu petugas gudang yang merasa tersudut karena lengah. "Demi Allah kulo mboten mendhet tebunipun."

Satyo mendesah pelan, "siang ini salah satu ikut dengan saya ke kantor polisi, pastikan malam ini sampai malam berikutnya penjaga gudang ditambah. Saya mau malingnya ketangkap."

"Nggih, Den!"

Satyo meninggalkan gudang tebu dengan segudang tanda tanya, siapa gerangan komplotan yang sengaja menjahili usahanya? Selama ini ia merasa melakukan pekerjaan sesuai dengan koridor. Saat ini kondisi ekonomi memang sedang susah-susahnya, bahkan inflasi terus naik sehingga membuat Pemerintah harus mengeluarkan Oeang Republik Indonesia dengan berbagai pecahan demi menyelamatkan negara supaya tidak semakin terpuruk.

Satyo paham jika mungkin komplotan pencuri itu membutuhkan uang, namun dia juga mengalami beban yang sama. Ada ratusan pekerja kasar serta staf yang mengandalkan nafkah dari usaha yang ia dirikan selama enam tahun ini. Meski tidak sehebat perusahaan milik negara, setidaknya Satyo telah membantu kehidupan warga sekitar perkebunan untuk menggarap area tebu serta lahan lain di sekitarnya yang bisa ditanami palawija.

"Pak Satyo, kalau boleh saya mengusulkan, bagaimana jika kita carikan orang pintar untuk mencari dan mencegah pencurian lagi?" Pak Mukhlis salah satu orang yang ikut bertanggung jawab akhirnya angkat bicara. "Saya punya kenalan di Banyuwangi."

"Pakai ilmu apa?"

"Rapalan doa."

"Kita tetap lapor polisi," Satyo menatap Pak Mukhlis, "secepatnya saya mau orang pintar itu nggarap lahan ini. Kalau terus-terusan kemalingan, kalian tidak bisa gajian seperti biasa."

"Nggih, saya segera urus."

..

"Katanya mau menginap lebih lama di rumah Bapakmu," Mutia mengamati Asmaranti yang menata kembali baju Anne ke dalam almari. Baru kemarin satu keluarga kecil itu tidak tidur di rumah –kecuali Mbok Inah, pagi ini suara tawa Anne membuat Mutia mau tidak mau mampir ke rumah belakang.

"Anne malah susah tidur, Mbak. Kasian Mas Satyo tidurnya terganggu."

"Belum krasan, biasa itu."

"Iya pasti, dia terbiasa di rumah orang kaya, rasanya beda dengan rumahnya Bapak."

"Kalau sering diajak ke sana lama-lama juga jadi krasan."

Asmaranti telah selesai mengepak baju, "Mbak Aya bagaimana kabarnya, Mbak?"

"Dia sudah baik-baik saja, yang penting Tjip tidak menceraikan."

Terdengar desahan keluar dari bibir yang lebih muda, "apa semua lelaki seperti itu ya?"

Mutia mengerjap, ia menemukan kegusaran pada paras Asmaranti, "kamu tidak pengen hamil, Nti?"

Hawa (Perempuan Dalam Pelukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang