Update setelah empat ratus komen. Tolong bantu readers lain dengan mentranslete, terima kasih.
..
Sesuai yang direncanakan, Asmaranti menghabiskan waktu di rumah dengan membaca buku yang ada di dalam almari milik Satyo. Sembari bergumam, ia membaca salah satu buku pengantar filsafat yang sebagian besar menggunakan Bahasa Belanda, untungnya ada kamus sehingga ia tidak kesulitan mengartikan isi dari bacaan yang sedang berusaha ia pahami.
Meski anak seorang petani, namun otak Asmaranti lumayan encer dibandingkan kawan sebaya. Ditambah, ia memiliki kesempatan merasakan bangku SMA, beda dengan Marni yang hanya lulusan SMP. Namun perbedaan itu tidak pernah menyurutkan persahabatan keduanya karena hanya Marnilah orang kepercayaan Asmaranti di mana ia bisa menumpahkan isi hati dan pikirannya. Omong-omong soal Marni, Asmaranti meminta tolong Pak Jangkung untuk mengirimkan surat kepada perempuan itu. Dia ingin Marni mampir ke rumah Satyo suatu hari nanti. Banyak yang ingin ia ceritakan ketika bertemu.
Kenapa Asmaranti tidak keluar menemui Marni?
Jawabannya satu, Anne. Bocah cilik itu selalu kebingungan jika tidak ada dirinya di rumah. Mungkin benar kata Ibunya Satyo, Anne sangat tergantung dengan dirinya meski ada Mbok Inah. Terkadang Asmaranti heran mengapa Anne sangat menyukainya? Begitupun sebaliknya, selalu ada rasa tak tega jika harus mengabaikan bocah cilik tersebut.
Anne telah menjadi yatim piatu di usia tiga tahun, tanpa satupun keluarga yang sanggup merawat di negeri ini. Sangat miris. Tapi mungkin bukan hanya Anne saja anak kecil yang mengalami kejadian serupa, di luar sana banyak anak-anak miskin yang terpaksa ikut turun ke pasar mengais rejeki, atau lebih beruntung lagi masih ditemani orang tua untuk mengemis.
Realita itulah yang membuat Asmaranti harus banyak bersyukur jika ia memiliki kehidupan yang jauh lebih baik. Apalagi saat ini ia telah berkeluarga di usia sembilan belas tahun. Bahkan ketika lulus SMA, ia sama sekali tidak terpikir akan menikah secepat ini, namun ternyata takdir mempertemukan dirinya dengan Satyo. Laki-laki sombong yang membuatnya menjadi kuat seperti saat ini.
Hei, apa betul Asmaranti sekuat yang ia pikirkan? Mungkin iya, mungkin tidak. Karena perempuan itu belum menemui ujian hidup yang sesungguhnya.
"Mama, inih."
Asmaranti menghentikan kegiatan membaca ketika satu kuntum bunga sepatu diletakkan Anne di atas meja tamu, tempat di mana ia sedang membaca saat ini. "Bunga dari mana?"
"Di sana," tunjuknya di halaman depan.
"Petik sendiri?"
Anne mengangguk, "Mama sedang apa?"
"Mama sedang membaca," Asmaranti membiarkan Anne menyelipkan tubuh di antara buku dan tubuhnya.
"Baca?"
"Ini namanya buku," Asmaranti mengusap halaman buku, "untuk dibaca."
"Baa caa..," Anne bergumam, dibolak-balikkan halaman berkali-kali lantas ia tertawa senang saat Asmaranti mengeja huruf.
"Adek mau belajar membaca?"
"Mau," seperti biasa bibir Anne manyun ketika kalimatnya berakhir pada huruf konsonan U. Mbok Inah yang duduk di lantai ikut tertawa melihat kelucuan Anne.
"Buk Inah."
"Nggih, Den?"
"Eum.., Ibu kalau dengan Anne selama ini seperti apa?"
"Ndoro Ibu maksudnya?"
Asmaranti mengangguk, "Buk Inah jujur sama saya."
Mbok Inah terlihat bingung, "saya tidak pantas untuk membicarakan Ndoro Ibu, Den."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hawa (Perempuan Dalam Pelukan)
Romance[On going] Perempuan Jawa pada masanya hanya menjadi konco wingking para pria, Asmaranti menolak konsep tersebut meski langkahnya sangat berat menaklukkan hati Satyo yang ternyata telah menambatkan rasa pada wanita di ujung benua Eropa. Akankah Asma...