Terima kasih masih sabar menunggu, book ini akan selesai di Chapter 36, semoga kalian masih bersedia meninggalkan like dan komen. Karena setting waktu sampai di tahun 1965, saya menyesuaikan kondisi pada saat itu. Tidak banyak, namun tidak bisa dikesampingkan. Update setelah 300 komentar.
..
Temanggung, 1965
Menetap di Temanggung bukan keputusan yang buruk karena Anne menyukai udara dingin kaki Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro. Mungkin kalau bocah perempuan itu ikut keluarga Ibu kandungnya di Belanda –Asmaranti harap tidak demikian, bocah perempuan itu tidak akan kesulitan beradaptasi.
Anne tumbuh menjadi anak yang periang, meski awalnya canggung untuk bertegur sapa dengan anak-anak kampung, tapi fitrahnya sebagai bocah cilik dengan sendirinya berhasil melebur dengan masyarakat sekitar. Semua tidak lepas dari andilnya Asmaranti yang berusaha menyulap Anne menjadi lebih pribumi.
Rambut berwarna jagung benar-benar tidak terlihat, hanya kulit putih kemerahan Annelah yang membedakan dia dengan anak-anak yang lain, sisanya ya sama. Ketika anak perempuan lain rambutnya dikuncir, Asmaranti akan melakukan hal yang sama. Pun saat anak-anak lain memakai bedak dingin di siang hari, Asmarantipun melakukan hal serupa pada sang putri. Logat Jawa Anne sangat kental terdengar, bocah perempuan itu memakai bahasa Jawa ngoko dengan kawan-kawannya, namun ia diajarkan memakai bahasa Jawa alus ketika harus berhadapan dengan orang dewasa. Asmaranti sampai sedetail itu ingin menghapus identitas asing dari sang buah hati yang tak terlahir dari rahimnya sendiri. Orang tua mana yang tidak bangga memiliki putri cantik yang menjunjung tinggi tata krama? Bahkan kalau bisa, Asmaranti ingin Anne seperti terlahir dari tanah keraton.
Bicara tentang keturunan, dalam kurun waktu pernikahannya dengan Satyo, Asmaranti masih belum mengalami bagaimana rasanya mengandung. Kadang jika ingat kenyataan usianya dan sang suami terus bertambah, Asmaranti mengalami kekuatiran. Akankah Satyo tetap berada di sisinya jika ia tidak juga bisa menghadirkan putra atau putri kandung mereka? Apakah akan ada wanita lain di kehidupan mereka? Kalau membayangkan sejauh itu, rasanya Asmaranti kembali kerdil. Oleh sebab itu, demi menambah nilai diri, Asmaranti memiliki banyak angan-angan untuk membuat suaminya itu merasa bangga memiliki istri seperti dirinya.
Pagi ini, Asmaranti sesekali melirik gerak-gerik sang suami yang tengah memilih celana yang akan dipakai ke perkebunan. Jika dulu ia terbiasa diladeni saat tinggal di rumah Romo, kini hidupnya hanya ada suami dan Anne. Waktu senggang ia pakai untuk membaca buku-buku Satyo, kadang satu bulan sekali ada buku baru yang dikirim dari kota lain. Satyo sadar akan sangat sulit baginya untuk memberikan Asmaranti kesempatan kuliah di Ibu Kota sedangkan saat ini keduanya sedang berjuang mengembangkan ekonomi dengan mengelola tembakau yang ternyata bagi Satyo lebih sulit daripada mengelola tebu.
Sementara Asmaranti tidak protes menuntut untuk disekolahkan, Satyo masih merasa aman. Lagipula mana bisa dia berjauhan lama dari sang istri? Mau disodorkan wanita semolek apapun, sepertinya ia akan tetap memilih Bungsunya Pak Mahdi yang kata orang beruntung sekali mendapatkan dirinya. Meski Satyo tidak memungkiri privilage yang ia miliki sebagai anak keluarga berada, namun tidak ada rasa ingin meremehkan Asmaranti karena sedari awal mereka berkenalan, Asmaranti berhasil menunjukkan bahwa perempuan itu tidak boleh lemah.
"Hari ini aku mau pulang lebih cepat," Satyo berjalan ke arah Asmaranti yang sedang menyetrika kemeja miliknya.
"Tumben, Mas?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hawa (Perempuan Dalam Pelukan)
Roman d'amour[On going] Perempuan Jawa pada masanya hanya menjadi konco wingking para pria, Asmaranti menolak konsep tersebut meski langkahnya sangat berat menaklukkan hati Satyo yang ternyata telah menambatkan rasa pada wanita di ujung benua Eropa. Akankah Asma...