Molor ya? Saya sibuk jadi tuan rumah ditambah laptop inetnya rewel. Empat ratus komen bisa? Saya pengen posting besok malam. Oiya Mohon Maaf Lahir Batin jika saya pernah ada salah ke kalian, selamat berlibur!
..
"Kemarin di pestanya Pak Koesmiran sudah berkenalan dengan siapa saja?" Romo membuka obrolan saat kedua keluarga kembali utuh di meja makan. Mereka sudah ada obrolan sebelum Satyo dan Asmaranti kembali ke ruang makan.
"Saya dikenalkan dengan Ndoro Koesmiran, anak-anaknya beliau juga."
"Bukan Ndoro, Pak Koes maksudnya?"
Asmaranti tersenyum kecil, "iya Pak Koesmiran." Dia lupa pernah disentil Satyo gara-gara menyebut label Ndoro.
"Terus kenalan dengan siapa lagi?"
"Saya tidak ingat namanya, beberapa ada yang orang Tionghoa." Asmaranti mendadak teringat seseorang, "tapi dari semua tamu yang datang, saya sudah kenal dengan salah satunya."
"Oh ya? Siapa?"
"Mas Harsya putranya Pak Haji Syachroni," Asmaranti mengatakan bukan karena ingin memanas-manasi Satyo, tapi karena ingin cerita saja bahwa ia juga kenal dengan kaum cendekia.
"Harsya?" Pak Mahdi menatap Asmaranti dan Pak Wikraman bergantian, "kamu tidak pernah cerita ke Bapak kalau bertemu dengannya, Nduk."
"Nak Asmaranti kenal dengan Harsya?" Ganti Romo yang bertanya. Tentu saja ada sentimen pribadi yang mencuat.
"Inggih, Mas Harsya dan mas Satyo juga saling sapa. Itulah kenapa kami sempat mengobrol." Sorot mata Asmaranti sekilas menatap pada Satyo untuk meminta persetujuan. "Iya kan, Mas?"
Satyo mengangguk, "Asmaranti belum tahu apa-apa, mohon dimaklumi."
"Oh begitu," Romo mengangguk dengan wajah masam.
Asmaranti mengerjap bingung, apa dia salah bicara? Kenapa semua orang seolah menatapnya tajam? "Saya belum tahu soal apa?"
"Nanti kita bicara lagi di rumah," Pak Mahdi menutup topik, dia merasa kecolongan karena Asmaranti menyebut nama salah satu anggota keluarga yang tidak boleh disebut di ruangan ini.
Romo berusaha mengerti, biarlah itu nanti menjadi tugas calon besan untuk menceritakan kejadian di masa lalu sebelum penjajah keluar dari bumi pertiwi. "Kalau begitu, bisa kita lanjutkan pembahasan sebelum Satyo dan Nak Asmaranti kembali ke sini tadi?"
"Monggo, soal hari baik pernikahan bisa dirembug bersama." Pak Mahdi merasa tertolong dari situasi canggung yang diciptakan sang putri.
"Kalau bisa sebelum puasa, terlalu lama jika harus menunggu sampai Badha Besar."
Asmaranti hanya mampu diam saat rembug tuwo sedang berlangsung, Sang Ayah dan Pak Wikraman sepertinya sangat serius perihal perjodohan tanpa bertanya apakah dirinya dan Satyo betul-betul siap membangun sebuah keluarga.
"Nyuwun sewu nderek matur, menawi sebelum puasa itu lak nggih bulan depan, apa tidak kecepetan, Romo?" Mbak Tinuk –istri dari Bramastyo melihat raut wajah Asmaranti tidak seceria ketika melangkahkan kaki di rumah ini. Sebagai sesama perempuan, ia cukup berempati dengan hubungan Asmaranti dan Satyo, ditambah adik iparnya itu masih menaruh hati kepada wanita Belanda yang merupakan adik sambung Ibunya Anne. Pasti tidak semudah itu berpindah hati karena Tinuk paham kesetiaan Satyo pada satu perempuan ketika seluruh hatinya telah diserahkan.
![](https://img.wattpad.com/cover/305305044-288-k690709.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hawa (Perempuan Dalam Pelukan)
Romance[On going] Perempuan Jawa pada masanya hanya menjadi konco wingking para pria, Asmaranti menolak konsep tersebut meski langkahnya sangat berat menaklukkan hati Satyo yang ternyata telah menambatkan rasa pada wanita di ujung benua Eropa. Akankah Asma...