Mau update besok Minggu? Penuhi dua ratus lima puluh komen jika ingin segera membaca sikap manisnya Satyo. Play Mulmed.
..
Dalam pandangan Asmaranti selama empat kali ia bersama Satyo, baru kali ini laki-laki itu bersikap lebih lunak meski kesan otoriternya masih kental. Apa mungkin karena dirinya lebih diterima, jika iya, untuk apa? Dulu saja mengatakan akan membuat keputusan -yang sepertinya, lebih memilih untuk menolak perjodohan, namun kenapa sampai detik ini kata-kata yang Asmaranti tunggu tak jua datang?
Apa hati Satyo mulai tergugah?
Apa Satyo berubah pikiran?
Apa Asmaranti juga harus melakukan hal serupa? Memberi perhatian lebih misalnya?
Sumpah, meski piring berisi nasi ayam berada di pangkuan, tidak ada sedikitpun rasa ingin menghabiskan. Asmaranti bingung dengan perasaannya saat ini, sedih, sungkan, kacau sendiri. Padahal laki-laki yang duduk menikmati nasi ayam di sebelahnya terlihat tenang, tidak ada sama sekali perhatian ke dirinya saat ini.
Mendesah pelan, Asmaranti menyendokkan sesuap nasi ke dalam mulut.
"Tidak suka?"
Asmaranti buru-buru menegakkan posisi duduk yang tadinya lesu, "enak," ia menelan paksa makanan di dalam mulut lantas menyuapkan lagi karena melihat Satyo telah menyelesaikan makan malamnya.
Kalau dipikir lagi, buat apa coba jajan semalam ini? Padahal tadi Satyo sudah makan di kediaman Ndoro Koesmiran. Kalau alasannya karena laki-laki itu tidak menikmati hidangan seperti tidak logis. Masak iya seorang Satyo Wikraman yang sombongnya selangit mau mengalah mencarikan makan malam untuk dirinya seorang rakyat jelata?
Itu jelas tidak mungkin.
Yang mungkin adalah, Asmaranti telah menghancurkan suasana hati Satyo dengan upaya melarikan diri sehingga menganggu jalannya makanan masuk ke dalam perut, padahal Satyo masih lapar.
Iya pasti itu alasan utamanya. Dan tiba-tiba Asmaranti menjadi kerdil hatinya. Dia telah merepotkan lelaki di sebelahnya. Tapi siapa suruh mengajak ke pesta padahal sudah menolak? Coba kalau tidak mengajaknya, pasti saat ini Satyo sudah mengobrolkan banyak hal penting dengan Ndoro Koesmiran, dan lagi tidak akan ada hati yang tersakiti karena menyaksikan lelaki yang dipuja terlihat mesra dengan wanita lain. Soal yang terakhir, Asmaranti sedang meratapi nasibnya sendiri.
Intinya, kejadian yang mereka alami sekarang bukan murni kesalahannya. Titik.
"Aku ngrokok sebentar," Satyo beranjak dari tempat ia duduk meninggalkan Asmaranti yang kini seorang diri menikmati makanan. Berhubung hari semakin malam, tidak banyak pengunjung yang berada di angkringan.
"Mau tambah lagi, Mbak?"
"Sampun, Buk." Asmaranti meletakkan nasi ayam yang diwadahi pincuk daun pisang. Diteguknya teh panas yang dipesankan Satyo tadi. "Sadeyan ngantos jam pinten?"
"Menika badhe bubaran, karena ada Mas Satyo ya diladeni dulu."
"Oh," Asmaranti menghangatkan telapak tangan dengan gelas, "Mas Satyo sering ke sini ya, Buk?"
"Inggih, sudah langganan dari jaman Bapaknya Mas Satyo muda." Dengan logat Jawa halus, Mbok Sarinem sang pembuat nasi ayam favorit keluarga Satyo lantas bercerita. "Biasanya Pak Wikraman datang sama anak mantu, saya masih ingat yang orang Padang, dipanggilnya Uni Soraya. Piyantune ayu menik-menik, menawi ngendikan lucu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hawa (Perempuan Dalam Pelukan)
Romance[On going] Perempuan Jawa pada masanya hanya menjadi konco wingking para pria, Asmaranti menolak konsep tersebut meski langkahnya sangat berat menaklukkan hati Satyo yang ternyata telah menambatkan rasa pada wanita di ujung benua Eropa. Akankah Asma...