Hai! Maaf baru update, saya terlalu sibuk, silakan keluarkan komentar kalian sebanyak mungkin. Menjelang akhir, tetap semangati saya update tiap minggu! Update setelah 300 komen, Terima kasih!
..
Baru kali ini Asmaranti melihat langsung pertunjukan teaterikal yang dilakonkan para seniman lokal, indera penglihatan dan pendengaran bekerja keras karena rasa ketakjubannya. Malam ini Satyo sengaja mengajaknya bertemu dengan kawan-kawannya, dia ingin memperkenalkan secara resmi sang istri supaya tidak ada lagi kabar simpang siur mengenai hubungannya dengan perempuan Belanda yang sampai detik ini tak juga berkunjung, semoga saja tidak. Harapnya sih begitu.
Kembali pada pertunjukkan, topik apa yang membuat seluruh atensi Asmaranti beralih dari sang suami?
Jaka Tarub, judul yang sedang dimainkan.
Diceritakan bahwa lelaki itu sempurna menjadi batu di tepian sebuah telaga tak seberapa luas di dalam hutan yang dikelilingi kabut-kabut, hampir tak terinjak kaki manusia. Di dekat kakinya, terkulai tujuh helai selendang warna serupa pelangi, satu di antaranya tertindih batu. Ketika senja kian matang di permukaan telaga, rombongan bidadari memutuskan untuk kembali ke khayangan, namun Jaka Tarub memiliki ide brilian, dia ingin memberikan menantu untuk Sang Ibu.
Satu per satu para bidadari mengambil selendang, gerakan tangannya seolah mengepak dan melesat mengangkasa, lenyap di balik mega yang bersengkarut. Namun sialnya tersisa satu bidadari yang menjerit berusaha menarik selendang yang tersisa dari injakan batu. Wajahnya yang semula berbinar punah dilesaki gurat-gurat kecemasan. Jika tiba fajar dia belum menampakkan diri di khayangan, ia akan mendapatkan hukuman berat.
Singkat cerita, Asmaranti sedikit kesal ketika Jaka Tarub mencurangi dengan menjadi sok pahlawan. Lelaki itu seolah menjadi penyelamat, padahal yang membuat selendang sulit untuk diambil ya dirinya sendiri.
"Ikutlah denganku. Aku memiliki sebuah rumah kecil, dikelilingi sawah-sawah yang cukup memberikan beras untuk kita makan berdua." Kata si pelakon Jaka Tarub.
"Bagaimana kau bisa tiba-tiba muncul di sini?" Nawang Wulan -nama sang bidadari, bertanya.
"Tubuhmu yang menyentuh jantungku saat kau sandari tadi telah merontokkan mantraku. Kata Guruku, hanya wanita yang sanggup melakukannya. Dan wanita itu adalah bidadari. Ikutlah denganku, sebentar lagi fajar datang."
Adegan demi adegan berlanjut, penuh improvisasi hingga beberapa kali kedua alis Asmaranti bertaut karena ada beberapa bagian yang berbeda dengan pengetahuannya tentang cerita Jaka Tarub yang pernah ia baca di salah satu buku perpustakaan sekolah. Namun hal-hal remeh itu tidak menyurutkan atensi Asmaranti, sampai-sampai Satyo seakan tidak ada bersamanya saat ini.
"Istrimu sepertinya sangat menyukai karyaku," bisik Marwan sang penulis skenario sekaligus sutradara.
"Dia belum pernah melihat pertunjukan seperti ini, maklum."
"Berarti aku tidak salah memilih pemeran Jaka Tarub," Marwan manggut-manggut bangga.
"Asmaranti hanya tertarik dengan jalan ceritanya, bukan pemerannya," Satyo meralat.
"Ya jangan cemburu toh, tenang saja, tidak akan kukenalkan dia pada istrimu." Marwan menepuk lengan Satyo seraya memperlihatkan deretan giginya yang menguning akibat terlalu sering menjadi ahli hisap.
"Lain kali aku harus menyortir dulu pemainmu, Wan."
"Oh tidak perlu, aku tidak mau didikte. Bahkan penguasa pun tidak bisa menyetirku, aku tau mana orang-orang yang berkapasitas memainkan peran yang kubuat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hawa (Perempuan Dalam Pelukan)
Lãng mạn[On going] Perempuan Jawa pada masanya hanya menjadi konco wingking para pria, Asmaranti menolak konsep tersebut meski langkahnya sangat berat menaklukkan hati Satyo yang ternyata telah menambatkan rasa pada wanita di ujung benua Eropa. Akankah Asma...