300 komen untuk lanjut, terima kasih!!
..
Bagi Asmaranti, ini adalah kali pertama ia mengunjungi Temanggung. Sepanjang perjalanan, ditemuinya gunung dan bukit, serta jalur kereta api yang menurut keterangan Satyo adalah jalur menuju Stasiun Parakan. Kabupaten yang terapit di antara Gunung Sindoro dan Sumbing tersebut membuat kedua binar Asmaranti tak jua ingin melepaskan dari pemandangan indah yang terpampang.
Sangat berbeda dengan Surakarta tempat di mana ia dilahirkan, Temanggung memiliki suhu lebih dingin dari wilayah lain karena lokasinya. Bahkan di siang haripun selepas dhuhur, kabut mulai turun menghiasi jalan yang berkelok.
Sesekali menyimak obrolan Satyo dengan Pak Sukri yang menjadi orang kepercayaan Romo untuk mengurus perkebunan milik keluarga, Asmaranti membayangkan betapa menyenangkan jika suatu hari Anne dapat ikut serta. Kalau mau membayangkan lebih jauh, mungkin Belanda mirip seperti di Temanggung dengan temperatur sejuk di siang hari dan dingin di malam hari.
"Bu Satyo sepertinya sangat menikmati pemandangan."
Asmaranti mengangguk, "saya suka melihat pohon, ladang, gunung. Itu tanaman apa, Pak Sukri?" tunjuk Asmaranti pada pepohonan rimbung yang tertata rapi di pinggir jalan.
"Ini wilayah perkebunan kopi, Bu."
"Oh! Kopinya yang mana?"
"Masih kecil, warnanya hijau bulat. Apa mau berhenti mirsani dulu?" Pak Sukri melambatkan laju mobil.
Satyo menoleh ke belakang, dilihatnya Asmaranti, "kita ke rumah dulu, besok masih bisa jalan-jalan."
"Iya, Mas," Asmaranti menurut. "Tidak harus sekarang, Pak Sukri."
"Nggih, besok saya antar ke perkebunan-perkebunan yang ada di sini. Sekaligus mencicipi kopi dan jajanan khas desa."
"Iya, Pak. Matur nuwun."
Satyo menatap wajah bahagia sang istri lewat spion samping. Ternyata mengajak Asmaranti jalan-jalan ke Temanggung ada untungnya juga. Setidaknya dia memiliki lebih banyak waktu berdua, banyak yang ingin ia bahas nantinya.
Setelah menghabiskan waktu delapan jam perjalanan, akhirnya sampailah mereka di rumah dengan aksen Belanda. Ada lelaki setengah baya dengan jaket pembungkus tubuh tampak berlari membukakan pintu pagar. Hampir mirip dengan kediaman milik Romo, bangunan utama dikelilingi pepohonan dan kebun bunga. Bedanya, pohon-pohon yang ditanam kebanyakan berbuah, bukan sekedar pohon angsana atau perdu. Hanya ada satu bangunan besar dan bangunan kecil di dekat pintu pagar.
"Masya Allah, indahnya." Asmaranti menurunkan kedua kaki sembari takjub dengan pemandangan yang disuguhkan.
"Gunungnya tertutup kabut, besok pagi kalau cerah, kamu bisa melihat pemandangan yang lebih indah dari ini," bahkan dari penjelasan yang ia berikan saja sudah membuat senyum Asmaranti kian melengkung laksana bulan sabit.
"Eum.., kalau perkebunan yang mau dikunjungi jauh tidak dari sini?"
"Mungkin sekitar lima sampai enam kilo," Satyo menurunkan tas miliknya dan milik Asmaranti.
"Aku boleh ikut?"
"Boleh, tapi dengan satu syarat."
"Apa itu?"
"Jangan mengeluh kalau capek."
"Memang seperti apa sampai capek?" Asmaranti mengikuti langkah Satyo, ia lalu mengangguk sopan saat penjaga rumah menunduk menyambutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hawa (Perempuan Dalam Pelukan)
Romance[On going] Perempuan Jawa pada masanya hanya menjadi konco wingking para pria, Asmaranti menolak konsep tersebut meski langkahnya sangat berat menaklukkan hati Satyo yang ternyata telah menambatkan rasa pada wanita di ujung benua Eropa. Akankah Asma...