20_Sebuah Saran

2.7K 323 531
                                    

Update setelah 400 komen. Tolong bantu readers lain untuk translate, terima kasih.

..


Hari ke enam belas Ramadhan, Asmaranti harus membayar hutang puasa di kemudian hari karena tamu bulanan datang. Awalnya perempuan itu bingung mengapa tak kunjung menstruasi, dia sempat berpikir apa hamil? Tapi tidak mungkin karena ia masih perawan, Satyo belum berhasil menanamkan benih di rahimnya.

Sekarang semua pegal-pegal di tubuh terjawab sudah, tamu yang ditunggu akhirnya datang juga meski resikonya puasa yang dijalani jadi bolong. Meski begitu, dia tetap akan menjalankan tugasnya membangunkan Satyo untuk sahur serta menyiapkan makanan untuk berbuka.

Siang ini seperti hari-hari sebelumnya, tidak ada kegiatan spesial yang ingin dilakukan selain membaca buku yang sempat tertunda beberapa hari karena Anne rewel. Ternyata bocah cilik itu badannya sumeng dan pilek. Sesuai petunjuk Ibunya Satyo, Asmaranti memberikan obat tradisional untuk Anne. Tubuh bocah cilik itu dibaluri bawang merah mentah, lalu pileknya diobati dengan racikan perasan jahe dicampur dengan madu, serta banyak minum air putih. Pernah sekali susu yang di dalam dot diberi perasan kunyit untuk melembabkan tenggorokan dan melancarkan pernafasan tapi Anne tidak suka. Akhirnya madu dan jahe serta air putih hangatlah yang menjadi pilihan di samping makanan berkuah hangat yang mau tidak mau disuapkan meski sedikit demi sedikit.

Akhirnya hari ini Anne benar-benar telah sembuh, bocah cilik itu kembali ceria bermain di teras rumah.

"Mbok Nah, Den Anti pinarak ora?"

"Wonten, pripun?" Mbok Inah beranjak dari tempat ia duduk mengawasi Anne.

"Ada yang mencari," Pak Jangkung menunjuk pada halaman depan.

"Sekedap tak panggilkan," Mbok Inah bergegas masuk ke dalam rumah, diberitahukannya ada seseorang yang datang ingin bertamu.

"Sinten, Buk?"

"Mboten mangertos, piyantunipun wonten ngajeng."

Asmaranti melipat ujung halaman buku yang ia baca lalu dikembalikan lagi ke dalam almari. Setelah beres, ia berjalan ke arah teras. "Ada yang mencari saya, Pak Jang?"

"Nggih piyantun putri, saya panggilkan ke sini?"

"Tidak usah, saya saja yang ke sana."

Ketika melihat Sang Ibu mengenakan sandal, Anne langsung berlari menyusul. Dia sudah memakai sandal kalau bermain di halaman. "Mama!"

"Nonik tidak boleh ke depan," Mbok Inah menyusul langkah Anne.

"Sebentar Mama ke sana, Adek tunggu di sini ya?" Asmaranti melambaikan tangan untuk menjemput siapa tamu yang mencarinya. Dia belum pernah dicari oleh seseorang selama menempati rumah Satyo.

"Itu tamunya, Den."

Senyum Asmaranti merekah tatkala mengenali siapa yang bertandang, "Marni!"

"Alhamdulillah, Nti! Tak kiro aku nyasar!" Marni mengatakannya karena dia tidak diundang keluarga Satyo saat pesta resepsi di rumah sebesar ini. Perempuan itu hanya menemani Asmaranti ketika akad di rumah Bapaknya Asmaranti.

"Numpak opo?"

"Nunut wong," jawaban Marni yang selalu asal nyeplos.

"Ayo mlebu," Asmaranti menggandeng tangan sang sahabat.

"Omahe gede bianget ya, Nti."

Hawa (Perempuan Dalam Pelukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang