Dua ratus komen untuk lanjut.
..
"Kenapa pintunya harus dikunci?"
Asmaranti tidak mengerti apa yang mau dilakukan oleh sang suami. Dia kira ia akan menerima hukuman, namun nyatanya Satyo berdiri mengamati surat yang tergeletak di atas ranjang.
"Kenapa diam?"
Satyo kemudian duduk sembari berganti menatap jendela kamar yang tembus ke halaman samping, "sini," Ia menepuk ranjang.
Asmaranti berjalan mendekat lalu ia lakukan apa yang diminta sang suami. "Itu apa?" tunjuknya pada surat yang kini berada di antara dirinya dan Satyo.
"Surat dari kawanku, dia mengundangku untuk hadir di sebuah acara besar."
"Kapan?"
"Dua pekan lagi," Satyo mengambil selembar kertas lalu disodorkan pada Asmaranti, "kau boleh membacanya."
Asmaranti mengambil surat dari tangan Satyo, kedua alisnya perlahan bertaut saat membaca paragraf terakhir. "Surat dari Faye?" tanyanya pelan.
Satyo menunjuk lewat sorot mata, "kawanku menyertakan surat yang dikirim oleh Faye untuknya."
Jantung Asmaranti kian berdegup kencang. Apa sekarang saatnya ia harus pasang badan untuk mempertahankan sang suami? Padahal baru kemarin ia menyerahkan seluruh jiwa raganya untuk Satyo. "Suratnya berisi apa?"
Satyo dan Asmaranti saling menatap, "kau masih paham Bahasa Belanda bukan?"
"Aku sudah lupa," perempuan itu berkelit, dia sama sekali tidak ingin tahu atau kenal siapa wanita di masa lalu Satyo. Hatinya mendadak menjadi gundah, meski rasa ingin tahunya besar soal maksud dari surat Faye. "Mas Satyo ceritakan saja padaku apa isi suratnya."
Satyo mengalihkan pandangan kembali pada jendela kamar, "seharusnya kemarin-kemarin ada surat yang kuterima, namun nyatanya sampai sekarang tidak ada."
Perkara surat, Asmaranti memilih untuk diam seolah tidak tahu apa-apa meski ia tahu cerita sebenarnya dari Ibu mertua.
"Faye mengatakan pada Irsyad bahwa ia mengirimiku beberapa surat namun sampai detik ini aku merasa tidak ada satupun surat dari Belanda yang sampai di tanganku." Satyo kembali mengalihkan atensinya pada Asmaranti yang tengah menatapnya. "Menurutmu apa yang terjadi?"
"Mungkin salah alamat?" Asmaranti tidak salah toh dirinya tidak pernah melihat atau menyentuh surat-surat yang disembunyikan kedua orang tua Satyo selama ini. Kini yang lelaki itu tampakkan adalah seraut wajah penuh keresahan. "Mas belum cerita apa maksud surat yang dikirimkan Faye."
Terdengar helaan nafas berat, "dia akan datang menjemput dan mengambil Anne."
Satu kalimat pendek yang keluar dari bibir Satyo membuat jantung Asmaranti berdegup kian kencang, "mengambil bagaimana?"
"Faye adalah keluarga dari Anne, dia ingin mengasuh anak itu."
"Tapi belum tentu Anne mau, dia tidak boleh dipaksa untuk ikut dengan wanita itu."
"Faye lebih berhak atas Anne."
Kedua bola mata Asmaranti bergetar, "kenapa baru sekarang mau ambil? Kenapa tidak dari dulu ketika Anne belum aku asuh."
"Karena dia tidak menerima balasan surat dariku," suara Satyo penuh penekanan, "aku tidak tahu siapa yang menaruh atau mengambil surat-surat yang aku tunggu selama satu tahun lebih."
"Kalau dari awal surat itu kamu terima, apa yang akan kamu lakukan?"
"Tentu saja aku akan mengantar Anne ke Belanda, situasinya tidak akan menjadi serumit ini jika dari awal surat-surat itu telah kuterima."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hawa (Perempuan Dalam Pelukan)
Romance[On going] Perempuan Jawa pada masanya hanya menjadi konco wingking para pria, Asmaranti menolak konsep tersebut meski langkahnya sangat berat menaklukkan hati Satyo yang ternyata telah menambatkan rasa pada wanita di ujung benua Eropa. Akankah Asma...