Hai saya kembali di hari yang tidak biasa. Masih ada yang mau baca sampai akhir? Yok ramaikan sampai 400 komentar. Terima kasih!!
..
Ketika Arlis menginjakkan kaki di kediaman Faye, ini merupakan pencapaian luar biasa. Perempuan itu seperti kehabisan kata-kata saat menyaksikan Pamannya yang merupakan salah satu guru besar di Universitas tempat Arlis menimba ilmu, tampak berbincang dengan wajah serius.
Di balik pintu besar yang memisahkan rumah dengan kebun, Faye memperhatikan dengan otak dipenuhi tanda tanya. Demi apa lelaki itu rela datang untuk bertemu dengan Pamannya? Apa hanya karena ingin berdiskusi? Namun ini waktu yang tidak wajar untuk berkunjung dan membahas soal ilmu politik atau apalah itu, karena sekarang saatnya beristirahat. Bahkan ia sempat mendengar, beberapa mahasiswa Indonesia menggelar pesta, namun mengapa Arlis justru menampakkan diri di sini? Bukankah lebih menyenangkan menyambangi pesta daripada membahas topik yang tak akan ada ujungnya?
"Is hij je vriend?" tanya Bibi Faye ketika menanyakan apakah tamu di teras adalah kawan Faye.
"Ja," Faye mengiyakan, lantas bergeser posisi supaya tidak terlalu terlihat tengah mengintip.
"Waar komt hij vandaan?" Wanita berusia lima puluh tahunan itu bertanya sekali lagi, dari mana Arlis berasal?
"Indonesisch," Faye menghela nafas panjang, "hij vindt me leuk," Faye mengatakan seolah Arlis menyukainya, maka dari itu lelaki itu rela mendatangi kediaman mereka.
"Oh nee, niet weer Indonesisch," Oh tidak! Bibi Faye menggeleng, dia tidak percaya lagi-lagi orang Indonesia yang mendekati sang keponakan. "Vind je het ook leuk?" wanita itu semakin penasaran dengan menanyakan apakah Faye juga menyukai tamu tersebut?
"Nee," Faye menjawab tidak menyukai Arlis, tapi entah di kemudian hari. Karena malam ini, lelaki itu terlihat lebih menarik dari biasanya.
..
Menatap dalam diam menjadi kebiasaan Satyo saat secara tidak sengaja ia terbangun di tengah malam. Wajah Asmaranti terpampang nyata di depan kedua mata, perempuan itu tampak pulas tertidur. Kelopak mata yang menutup memperlihatkan betapa lentiknya bulu mata Asmaranti. Sesekali Satyo berkedip menahan kantuk, namun sayangnya ia tidak memiliki keinginan untuk tidur ketika menatap wajah sang istri.
Aku kapan boleh sekolah lagi? Maksudku, kalau memang Mas Satyo belum mengijinkan aku bersekolah lagi, setidaknya ijinkan aku memperdalam Bahasa Belanda, supaya otakku ini tidak menjadi bodoh. Lagipula jika suatu saat Anne harus kembali pada keluarganya, meskipun kurasa aku tidak sanggup kehilangan, tapi setidaknya aku sudah membekalinya bahasa asli di mana dirinya berasal. Anne-ku tidak akan kesulitan untuk mengutarakan pendapatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hawa (Perempuan Dalam Pelukan)
Romantizm[On going] Perempuan Jawa pada masanya hanya menjadi konco wingking para pria, Asmaranti menolak konsep tersebut meski langkahnya sangat berat menaklukkan hati Satyo yang ternyata telah menambatkan rasa pada wanita di ujung benua Eropa. Akankah Asma...