"Ini gue"
Sebuah suara yang mulai familiar diingatannya terdengar menghentikan aksi brutalnya yang memukul menggunnakan botol minum, perlahan-lahan Qanita membuka matanya dan menemukan Damar yang kini berada di hadapannya.
Qanita menghembuskan nafas lega, ketika mendengar suara langkah kaki yang mengikutinya segala pikiran buruk menghantam kepalanya begitu saja.
"Ngapain lo disini?"
"Mau ke halte"
Damar terlihat mengernyitkan dahinya" Emang gak di jemput?"
"Gak tau, ponsel gue juga mati biasanya sih pak Reno udah nungguin di depan tapi tadi gue liat gak ada" Qanita berpikir mungkin dengan ia menceritakan permasalahannya kepada Damar ia bisa meminjam ponsel pemuda itu untuk menelpon pak Reno.
Damar terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya, tapi pemuda itu juga tidak menawarkan bantuan kepadanya terpaksa Qanita membuka suara lagi.
"Hmm boleh pinjem ponsel lo gak ?"
Tak ada tanggapan, selanjutnya pemuda itu tampak merogoh kantong dan menyodorkan ponsel ke hadapan Qanita yang di terima dengan senang hati oleh gadis itu.
Damar memindai gadis yang terlihat sibuk dengan ponsel di genggamannya. Saat menuju parkiran tadi ia melihat Qanita berjalan mmenuju pos satpam dan setelah itu berjalan dengan lesu tanpa tahu apa yang terjadi pada dirinya Damar mengikuti gadis itu hinngga mulai keluar dari kawasan sekolah.
Kini dihapannya gadis itu terlihat cemas sambil menggoyangkan kaki, sepertinya panggilan yang gadis itu tuju tidak menjawab panggilan tersebut.
Kenapa tidak ada yang menjawab?, Qanita mulai cemas, hari sudah terlalu sore dan mungkin bus juga sudah tidak beroperasi lagi saat ini. Dengan terpaksa Qanita menyodorkan ponsel yang ia pinjam kepada pemiliknya.
"Gimana?"
"Gak di jawab, gakpapa gue nunggu bus atau taksi aja" ia sendiri tak yakin dengan bus dan taksi juga tidak tampak dipandangannya sedari tadi.
"Ikut gue" perintah Damar lalu pemuda itu langsung berbalik arah menuju sekolah kembali tanpa repot-repot menunggu jawaban Qanita.
Qanita terlihat linglung dan setelah tersadar Damar sudah jauh dari pandangannya, kemudian ia melihat sekelilingnya yang sepi lalu berlari sekuat tenaga untuk mengejar Damar, saat ini mengikuti Damar adalah pilihan terbaik yang ia punya, Qanita tak akan pura-pura menolak jika pemuda itu menawakan untuk mengantarnya pulang, keselamatannya adalah yang utama.
"Masuk" lagi-lagi perintah yang terdengar.
Qanita langsung masuk tanpa perlu adegan saling tolak menolak manja yang biasa ia tonton di drama atau novel, memasang seat belt dan duduk diam.
" Dimana rumah lo?"
Qanita menyebutkan alamatnya sejelas-jelasnya tanpa melewatkan detail apapun.
Keadaan di dalam mobil hening tanpa ada satu suara pun, Qanita dengan canggung menoleh ke arah Damar dan melihat Damar dengan serius menyetir kemuadian Damar menoleh kearahnya langsung saja ia membuang muka ke arah jendela dan berpura-pura memperhatikan jalanan yang ramai.
Langit berwarna jingga dengan padatnya jalanan, klakson yang tidak berhenti saling saut menyaut memekakkan telinga menjadi pemandangan yang ia lihat saat ini, kepalanya sudah mulai terasa pegal dan jalanan juga tampak sangat macet.
"Ngapain lo gak gerak-gerak? Mau jadi patung?" Damar bertanya datar seolah-olah tengah membicarakan cuaca sore menjelang malam ini, ia malu karena ketahuan memperhatikan pemuda itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTAGONIS
Teen FictionDavira tak percaya hal ini terjadi di dunia nyata. Bagaimana mungkin ia menjadi Qanita salah satu karakter antogonis dalam novel berjudul "Simple Love". Qanita yang sempurna tapi tergila-gila pada Damar. Davira bertekad akan menjalani kehidupan yang...