Studio baletnya tampak sunyi hanya terdengar bunyi jam yang berdetak. Sinar matahari menembus kaca-kaca, Qanita terduduk di lantai usai merekam video untuk ajang perlombaan. Sebuah senyuman lagi-lagi terbit di bibirnnya. Ia yakin ia akan bisa lolos dengan tariannya.
Ia mengambil handuk lalu botol minum yang terletak di ujung studio balet rumahnya. Sekarang ia kelaparan setelah berulang kali menari.
"Non ada temennya di depan" ujar bi Ati saat ia melangkah memasuki dapur.
"Oh, siapa?" ia mengisi kembali botolnya yang sudah kosong.
"Non Freya, non"
Qanita mengernyitkan dahinya, Freya tidak bilang padanya akan mengunjungi rumahnya.
Ia berjalan menuju ruang depan, disana Freya tertunduk, duduk membelakanginya.
"Frey kenapa gak bilang kalau mau kesini?"
Qanita duduk dihadapan Freya, begitu gadis itu mengangkat wajahnya bisa ia lihat gadis itu sedang tidak baik-baik saja. Mata gadis itu bengkak dan hidungnya merah. Ia bangkit untuk duduk di samping Freya. Menggenggam tangan gadis itu.
"Kenapa ? lo bisa cerita sama gue" Qanita menatap tepat ke dalam kedua bola mata Freya.
Tiba-tiba saja gadis itu menangis, ia memeluk gadis itu untuk memberitahu bahwa semua akan baik-baik saja dan ia ada disamping gadis itu. Tangisan Freya semakin kencang, gadis itu tergugu. Qanita bisa merasakan pundaknya basah oleh air mata gadis itu. Ia terus menepuk pelan punggung gadis itu berharap bisa memberikan sedikit kekuatan untuk gadis ini.
Berangsur-angsur Freya mulai tenang, Qanita menyodorkan air yang sudah ada diatas meja ke arah Freya.
"Minum dulu ya"
Freya mengambil gelas dan minum dengan patuh, tatapan gadis itu terlihat kosong dengan mata merah dan bengkak.
"Ke kamar gue yuk" ajaknya. Ia ingin membuat Freya sebisa mungkin nyaman untuk membicarakan masalahnya. Ia juga tidak ingin pekerja lain mendengar pembicaraan mereka.
"Lo tenangin diri dulu, gue mandi sama ganti baju dulu ok?"
"Maaf ya ta"
"Kenapa minta maaf? Lo udah ngelakuin hal yang tepat dengan datang kesini, lo sahabat gue Frey" Qanita kembali memegang tangan Freya sembari sesekali meremasnya lembut.
"Makasih" ujar gadis itu serak.
" Sama-sama" ia memberikan senyum menenangkan pada Freya.
Qanita beranjak menuju walk in closet, masuk ke toilet dan dengan cepat membersihkan dirinya juga berganti pakaian.
Freya sekarang terlihat lebih tenang dan dapat mengontrol emosinya.
"Jadi udah mau cerita sekarang atau nanti?" ia tidak ingin terkesan memaksa gadis itu untuk bercerita, ia berusaha memberi waktu kepada gadis itu.
"Cerai" sebuah kata yang keluar dari mulut Freya berhasil menghentikan aktivitasnya yang sedang menyisir rambut.
"Orang tua gue mau cerai" Freya terlihat berusaha keras menahan tangis.
"Apa?" ia tidak pernah menduga ini, karena Freya tidak disebutkan di dalam novel, ia tidak bisa memprediksi hal yang berhubungan dengan gadis itu.
"Gue juga baru tahu kalau mereka mau cerai, gue udah lama curiga kalau bokap punya perempuan lain tapi waktu gue tahu sendiri rasanya itu tetap aja gue gak percaya ta, bokap yang gue banggain selama ini ternyata mengkhianati mama dan gue" Freya mulai tergugu lagi.
Qanita tak bisa berkomentar apapun mengenai hal itu, yang bisa ia lakukan hanya memberikan beberapa kata semangat dan berusaha menenangkannya. Setelah lelah menangis Freya tertidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTAGONIS
Teen FictionDavira tak percaya hal ini terjadi di dunia nyata. Bagaimana mungkin ia menjadi Qanita salah satu karakter antogonis dalam novel berjudul "Simple Love". Qanita yang sempurna tapi tergila-gila pada Damar. Davira bertekad akan menjalani kehidupan yang...