TAH - 25

5.1K 400 1
                                    

Happy Reading ✨️

***

Adam tidak tersinggung sama sekali oleh ucapan Raga yang entah kenapa selalu menyindirnya. Ia jadi sedikit ragu, apa benar Raga itu om-nya? Tapi kenapa perilaku dan perkataannya seakan tertuju pada musuh bukan keponakannya? Raga ini jenis manusia seperti apa sebenarnya? Kenapa sangat menyebalkan sekali manusia satu itu?

“Ya mau gimana lagi, Om Raga? Aku bisa apa kalau Tuhan udah berhendak?” ujar Cira mengedikkan bahunya.

Raga mengangguk, ujung bibirnya tertarik membentuk seringaian. “Kamu bener. Kita sebagai manusia cuman bisa menerima dan menjalaninya. Om dulu juga begitu, anak manis. Nggak mau sama istri Om ini, eh lama-lama malah nggak bisa jauh-jauh kayak sekarang. Bahkan dari si Zen masih kecil sampe sekarang, ke mana pun Om pergi pasti Tante Zahra ikut, termasuk urusan bisnis yang bikin kami keluar negeri berbulan-bulan. Kasihan Zen kecil, sampe ditinggalin dan harus dititipin ke sini setiap kali Om dan Tante pergi. Sekarang, malah anak itu yang ninggalin kami. Nggak tanggung-tanggung, dua tahun atau bahkan bisa lebih?”

Zahra yang ada di sebelah Raga hanya tersenyum tipis mendengar semua yang pria itu ceritakan. Raga bercerita dengan mimik wajah yang tampak sedih saat menyebutkan nama sang putra. Terlihat sekali bahwa suaminya itu begitu merindukan putra semata wayang mereka.

Apa tidak terlalu lebay jika Raga merindukan Zen yang baru meninggalkannya dengan sang istri demi menempuh pendidikan S2-nya yang baru dilakukan selama dua bulan terakhir ini?

“Ra, apa anak kita bakal marah? Ah, lebih tepatnya mungkin dia marah sama gue gara-gara setiap pergi selalu bawa lo? Kira-kira, dia kekurangan kasih sayang dari kita nggak, Ra?” Raga menatap sang istri yang kini mengusap bahu lebarnya hanya untuk memberinya sebuah penyemangat.

“Nggak, A’. Zen bukan anak yang kayak gitu, gue yakin dia nggak mungkin marah sama lo. Kita emang sering banget pergi-pergian bahkan sampe berbulan-bulan, tapi ‘kan Zen selalu ikut juga kalau dia ada waktu senggang bahkan sampe rela bolos sekolah kalau gue nggak ngelarang dia. Inget nggak, dulu waktu Zen masih kecil dan belum sekolah, kita selalu ngajak dia ke mana pun itu.”

Berbeda dengan Raga dan Zahra yang sedang membicarakan sang anak, ada Cira dan Adam yang memilih diam tak bersuara. Cira sudah tidak lagi mendengar ucapan kedua paruh baya itu, kini gadis itu malah bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

Zen? Nama siapa itu? Oke-oke, lupakan saja pertanyaannya itu karena Cira lupa kalau si Zen adalah anak dari pasangan yang ada di depannya. Akan tetapi, bagaimana rupanya seorang Zen? Apa ia pernah bertemu dan berkenalan dengan pria itu? Ia rasa tidak.

“Om.” Cira memanggil Adam sembari mencolek-colek paha pria itu yang sedang fokus pada ponselnya. “Om, kalau dipanggil itu minimal nyahut kek, jangan diem aja.”

“Hmm?”

“Bener-bener, om-om yang satu ini kayaknya pengen banget HP-nya dibanting, ya?”

“Apa sih, Cira, jangan nganggu saya terus!”

Cira berdecak, tangannya merampas ponsel sang suami yang membuat Adam langsung menatapnya murka. “Sssttt ... marahnya jangan sekarang, ditunda nanti aja. Nggak enak, soalnya ada Om Raga dan Tante Zahra.”

“Balikin HP saya sekarang, Cira,” tekan Adam.

“Nggak. Jawab dulu pertanyaan aku,” ujar Cira setelah menyelipkan ponsel Adam di bawah pahanya.

“Pertanyaan yang mana? Jangan bikin saya kesel ya, Ci. Kamu aja belum nanya, gimana saya bisa jawab pertanyaan kamu yang nggak ada itu!” Pria itu menggeram pelan. Jika saja di sini tidak ada Raga dan Zahra, sudah pasti Cira akan habis di tangannya sekarang.

The Angry Husband [Completed - Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang