TAH - 17

5.6K 415 15
                                    

Happy Reading ✨️

***

Suara deru mesin mobil yang memasuki pekarangan rumah tertangkap di pendengaran Cira. Ia melirik jam dinding yang ada di hadapannya menunjukkan pukul setengah sebelas malam, yang artinya ia sudah menunggu adam hampir dua jam lamanya.

“Pantesan si Zaky nggak pernah nyambut Om Adam, dianya aja pulang hampir tengah malem kek gini,” ucap Cira lalu berdiri.

Gadis itu berniat menyambut Adam di depan pintu, tapi baru kakinya akan mengambil langkah, ia diingatkan dengan sebuah amplop yang masih dipegangnya. “Duh, hampir aja kebawa,” gumam Cira. Ia menaruh amplop tersebut di sofa dan ditutupi sebuah bantal agar tidak terlihat oleh siapa pun, meski Erza sudah mengetahui bahwa ia mendapatkan surat panggilan dari sekolah.

Setelah rapi dan memastikan kemungkinan kecil amplop itu tidak mudah diketahui keberadaannya, Cira cepat-cepat berjalan ke arah pintu masuk, tentunya menyambut sang suami yang selalu pulang malam.

Cira tersenyum lebar mendapati Adam yang berjalan ke arahnya dengan tas yang pria itu tengteng di tangannya. “Om, selamat malam dan selamat datang kembali ke rumah dengan selamat sehat walafiat,” sambungnya dengan tangan terulur mengambil alih tas Adam.

“Gila kamu, ya?”

Mendengar perkataan tajam seperti itu dari Adam, Cira tetap mempertahankan senyuman lebarnya. Gadis itu tidak ingin termakan ucapan tajam sang suami, karena sekarang misinya ingin memikat hati Adam agar ketika berita yang dibawanya nanti, suaminya itu tidak akan terlalu marah.

“Capek nggak, Om?” tanya Cira seraya mencium punggung tangan Adam sebanyak mungkin hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring di kesunyian malam seperti ini.

“Menurut kamu ajalah, Ci,” jawab Adam sekadarnya dengan nada yang terdengar dingin dan jangan lupakan wajah datarnya.

Anak sulung Gavin dan Redyna itu menarik paksa tangannya yang masih dicium oleh Cira, kemudian berjalan masuk begitu saja dan tidak memedulikan sang istri yang merasa sakit hati atas perlakuannya tadi.

Cira menyentuh dadanya yang terasa nyeri mendapatkan perlakuan seperti itu dari Adam. “Apa segitu nggak sukanya Om Adam sama gue?” Ia menarik napasnya dalam-dalam, baru setelah itu menyusul Adam yang telah masuk ke dalam rumah lebih dulu.

“Om udah makan?” Cira ikut duduk di sebelah Adam.

“Udah.”

“Makannya di kantor, ya?”

“Mau saya makan di kantor atau kolong jembatan sekalipun, itu bukan urusan kamu.”

Diam-diam gadis itu memutar kedua bola matanya jengah, mendengar suara sarkasme sang suami. Bibirnya mencibir meledek Adam yang hidupnya abu-abu, tidak ada warna selain warna itu. Suram. Selama hampir satu bulan hidup bersama pria itu, Cira tidak sama sekali melihat senyum yang terbentuk dari bibir Adam. Malah, ekspresi yang sering ditunjukkan Adam adalah datar dan marah.

“Apa Om mau aku buatin kopi atau teh?” tawar Cira sembari bergelayut di lengan kekar Adam yang terbalut jas kerjanya.

Pria itu tampak tak risi dengan Cira yang bergelayut di lengannya, ia membiarkan sang istri terus seperti itu padanya. Adam melirik sebentar kepada istrinya yang kini malah menyandarkan kepala di bahunya, ia malas berdebat dengan Cira malam-malam seperti ini dan lebih memilih diam.

“Boleh, saya nggak doyan kopi,” ucap Adam menerima tawaran dari Cira.

Cira segera menegakkan tubuhnya dan menatap penuh binar sang suami. “Berarti Om mau dibuatin teh?”

The Angry Husband [Completed - Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang