Satu

32.2K 657 13
                                    


"Kalau kamu tidak mau melakukannya, pilihan terakhir mu hanya satu. Silakan keluar dari rumah ini." Rabecca tidak percaya di usir hanya karena masalah sepele namun, meski begitu Rabecca akan pergi. Dia sudah terlalu capek menghadapi sikap adik dan ibunya.

Rebecca tidak memiliki tempat tinggal lain selain rumah itu. Namun, mau tidak mau dia harus tetap keluar karena hanya itulah pilihan satu-satunya.

"Baik, Caca akan meninggalkan rumah ini untuk selamanya. Terima kasih sudah memberi, Caca kebahagiaan sekaligus luka yang mungkin tidak akan pernah sembuh." 

Arum hanya diam mendengar ucapan Rabecca, dia bahkan tidak mau melihat kepergian Rabecca yang hanya membawa beberapa pasang baju tanpa sedikit uang untuk bekal memulai hidupnya diluaran sana.

Rabecca tersentak saat mendengar alarm untuk segera berangkat kerja, kemudian dia menyimpan foto yang mengingatkannya pada keluarga dan rumah yang dia tinggalkan beberapa tahun lalu.

Rabecca seorang sekretaris yang terkenal on time, itu semua karena dia selalu menyetel alarm di jam-jam tertentu seperti. Sudah saatnya tidur, saat bangun pagi, berangkat kerja bahkan untuk istirahat dan pulang kerja semua sudah tersetel rapi. 

"Semangat untuk hidup tenang di hari tua, Ca." Kata itu merupakan motivasi Rabecca untuk rajin bekerja. Rabecca juga gadis yang super hemat, sebisa mungkin dia tidak akan mengeluarkan uang untuk keperluan yang tidak penting baginya. Bahkan saking iritnya Rabecca sering memanfaatkan dua sahabatnya untuk mentraktir dirinya makan.

Jam sudah menujuk pukul 06.00 sejak Rabecca bangun tadi, dan sekarang dia sudah selesai bersiap untuk berangkat kerja dengan mobilnya yang sudah berumur.

"Sampai jumpa nanti sore rumahku sayang," ucap Rabecca setelah memeriksa kembali kalau tidak ada charger yang tercolok ataupun kabel-kabel yang masih terpasang pada aliran listrik.

Setelahnya Rabecca meninggalkan rumahnya dan  menaiki mobilnya yang dia namai Mr. Boo. 

"Ca! tunggu!" Telinga Rabecca menangkap suara yang sudah akrab di telinganya. Dia melirik dari kaca spionnya dan benar saja itu adalah Violeta, sahabat karibnya.

"Kamu mau naik Mr. Boo?" tanya Rabecca dengan senyum penuh arti.

"Jangan tunjukan senyum itu." Gerutu Vio yang sudah mengerti arti dari senyum yang ditunjukan Rabecca.

"Aku hanya bertanya, jangan cemberut begitu," ucap Rabecca senang.

"Ia, aku tau. Kamu pasti meminta ongkos karena naik mobil butut kamu ini." Meski terus menggerutu Vio tetap menaiki mobil Rabecca karena mobilnya sedang berada di bengkel.

"Makan siang kali ini kemana?" Rabecca tidak sabar untuk makan siangnya padahal ia baru saja menghidupkan mobilnya untuk berangkat kerja.

"Udah deh, jangan bahas makan siang sekarang. Aku bahkan baru saja sarapan." Vio geleng-geleng kepala melihat sahabatnya yang satu itu.

"Baiklah," ucap Rabecca tanpa menghilangkan jejak senyum di bibirnya membuat Vio berdecak malas, ingin rasanya Vio menghilangkan sifat irit sahabatnya itu.

"Ca, sampai kapan kamu akan terus begini?" tanya Vio yang sudah tidak tahan dengan sahabatnya yang terkesan memorotinya.

"Entahlah, aku juga tidak tau." Rabecca selalu mengelak jika ditanya hal seperti ini.

"Ah, aku rindu Caca yang dulu." Vio mengingat jaman SMA-nya dengan Rabecca. Gadis di sampingnya itu dulu merupakan teman yang royal tanpa perhitungan seperti saat ini.

"Situasinya sudah berbeda, Vi. Sekarang aku sudah tidak tinggal di keluarga  Winandera juga bukan lagi bagian dari keluarga mereka." Meski hanya sedikit, Vio dapat melihat kilat kesedihan diwajah sahabatnya itu.

"Baiklah kita ketopik lain saja." Ini juga merupakan kelemahan Vio, dia tidak akan sanggup melihat sahabatnya itu bersedih hanya karena masa lalu Rabecca yang mungkin menyedihkan.

"Iya, terserah kau saja," jawab Rabecca yang juga tidak ingin membahas keluarganya, tepatnya mantan keluarganya.

"Apa kau, tau?" 

"Tau apa?" tanya Rabecca dengan nada lemah. Nyatanya meski sudah mencoba ribuan kali untuk melupakan keluarganya, Rabecca selalu gagal jika ada yang mengingatkannya.

"Hari ini, Pak Jacob akan resmi digantinkan putranya. Dan otomatis bos yang akan bekerja denganmu juga akan berganti." 

"Iya, aku sudah tau." Sebulan sebelum atasanya pensiun, digantikan oleh putranya sendiri Rabecca sudah diberitahu. "Tidak akan ada yang berubah, jam kerja dan gajiku akan tetap sama," tambah Rabecca.

"Tapi aku dengar dia tidak pernah bekerja dengan wanita—" Vio menjeda ucapanya sebentar untuk melihat reaksi sahabatnya itu.

"Benarkah?" Rabecca tidak pernah menduga hal ini dan menurutnya itu bukanlah sesuatu yang wajar.

"Dia punya sekretaris pribadi dan itu merupakan seorang pria. Kemungkinan posisi kamu sebagai sekretaris akan digantikan oleh pria itu." Vio berkata seperti itu karena dia mendengar gosip-gosip dari para karyawan di divisinya dan dia khawatir akan jabatan sahabatnya itu sekarang.

"Aku tidak akan terima jika dipindahkan begitu saja karena, Pak Jacob, sebelumnya sudah mengatakan padaku bahwa aku akan tetap menjadi sekretaris Presdir." Rabecca dengan jelas menandatangani surat itu perjanjian itu. Lalu jika Presdir baru akan menggeser posisinya tanpa alasan yang jelas, tentu Rabecca tidak akan pernah menerima hal itu. Bila perlu dia akan mendatangi kediaman O'Rayan untuk berunjuk rasa di sana.

"Iya ampun! Ca, aku masih mau hidup." Tiba-tiba saja Rabecca menambah kecepatan hingga membuat Vio terkejut dan mencengkram erat sabuk pengamannya.

"Aku ingin cepat melihat, seperti apa wajah pria yang akan menjadi atasanku itu," ucap Rabecca dengan raut wajah penasaran, juga tanpa menghiraukan ucapan Vio.

"Kamu yakin ingin melihat pria itu?" Vio bertanya dengan raut wajah yang sulit diartikan seraya tangannya masih berpegang kuat pada sabuk pengaman yang melingkari tubuhnya.

"Memangnya apa yang salah dengan pria itu?" Rabecca semakin penasaran dengan pria itu setelah melihat ekspresi sahabatnya yang tidak biasa.

"Dari yang aku dengar pria itu sangat kejam, orang-orang sering menyebutnya dengan raja hutan." Kata Vio sembari tatapan matanya fokus kedepan, tidak dipungkiri jantung Vio berdetak sangat cepat. Yang benar saja dia masih ingin hidup dan merasakan pacaran dengan pria yang dia cintai kelak. 

"Hanya raja hutan? cih, tidak menarik." Rabecca mengurangi kecepatan mobilnya, dia sadar betul ekspresi sahabatnya itu. 

"Aku sih nggak masalah mau dia raja hutan, beruang kutub atau maccan sekalipun aku sih selow aja, karena yang berhadapan langsung dengannya adalah kamu bukan aku. Dan kemungkinan besar kami tidak pernah saling berpapasan." 

"Aku tidak masalah dengan siapapun yang akan menjadi atasanku, karena bagiku pekerjaan yang lebih penting dan yang lebih pentingnya lagi adalah uang."

"Ckck, di otakmu itu  memang hanya ada uang hingga tidak peka dengan sekitar kamu." Vio tau ada beberapa pria yang terang-terangan mendekati Rabecca namun, Rabecca sama sekali tidak menggubris hal itu. 

"Oh, jelas tidak ada yang dapat mengalahkan uang, karena segalanya butuh uang. " Vio hanya geleng-geleng kepala melihat sahabatnya itu entah sampai kapan Rabecca seperti sekarang ini. Akan tetapi Vio mendoakan dan berharap Rabeca menikah dengan pria kaya raya agar sifat irit gadis itu menghilang.

bersambung...











Perfect SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang