1

710 145 330
                                    

Namanya Gendis Sekar Arum. Remaja kelas tiga SMK Taruna Bangsa Jakarta, yang biasa dipanggil Gendis. Tentunya wajahnya semanis dan seindah namanya. Gendis yang berarti gula, Sekar Arum yang berarti bunga yang harum.

Ia memiliki kulit kuning langsat, bermata bulat dengan iris cokelat, berbulu mata yang lentik, lengkap dengan greek nose serta bibir tipis yang kerap menebarkan senyum semanis gula. Peringainya enerjik, ceria, bersuara lantang penuh semangat.

Namun ketahuilah, bahwa tidak ada manusia sempurna di dunia ini. Karena sejatinya kesempurnaan hanya milik Tuhan. Setiap manusia pasti punya kelebihan dan juga kekurangan. Ada sisi baik ada pula sisi buruk. Sama halnya dengan Gendis.

Salah satu sisi buruk Gendis adalah sifat moodyan-nya yang akut, dan kerap menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Kalau mood dia lagi hancur nih guys, seketika dia menjelma menjadi sang pemberontak, urakan, malas, cuek, tak terkontrol, suka-suka dia deh pokoknya. Tapi meskipun demikian, pada dasarnya Gendis tetaplah anak yang baik dan penolong.

Sedikit cerita mengenai hobi Gendis nih Guys, jadi Gendis ini adalah seorang radioholics. Hobinya bukan hanya sekedar mendengarkan musik lewat radio, namun ia juga kerap berpartisipasi mengirimkan atensi untuk sekedar berkirim salam, request lagu kesayangan, curhat, bahkan numpang mengumpat.

Baginya musik, radio, dan dirinya adalah hal yang tak bisa dipisahkan. Bisa diibaratkan seperti sebuah komposisi lengkap antara asap knalpot, suara klakson, dan deru kendaraan yang senantiasa memadati jalanan kota Jakarta, yang sudah menjadi statement gambaran ibu kota dari masa ke masa. Persis seperti suasana pagi itu di kota Jakarta tercinta.

*****

1 Oktober 2004

Suasana pagi Jakarta saat itu, masih diwarnai dengan fenomena macet yang tak kunjung usai. Beberapa macam moda transportasi seperti angkot, mikrolet, kopaja, metromini, bemo, bajaj, dan yang lainnya, masih menjadi transportasi favorit pada masa itu. Meskipun tanpa tersadari, beberapa moda tranportasi tersebut justru merupakan biang keladi dari ketidaktertiban lalu lintas itu sendiri. Semrawut deh pokoknya. Persis dengan kondisi Gendis pagi itu.

Gendis yang manis, terlihat tidak baik-baik saja. Secara tak tampak sedikitpun senyum menghiasi bibir indahnya. Yang ada hanya sebuah garis tebal kepanikan yang tergurat di wajahnya. Ya, panik karena ia terlambat datang di hari pertamanya menjalankan program PKL tahap keduanya.

"Sialan! Raja Iblis Piccolo pasti bakal murka nih." umpatnya, setelah melihat jam tangan digital berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Ia pun lantas mempercepat langkahnya.

Dengan setengah berlari ia menuju ke sebuah bangunan dua lantai berpagar hitam, bercat putih dan berplang nama dengan huruf kapital timbul berwarna hitam, bertuliskan KPRI ADI SANTOSA.

Setelah mendekati bangunan itu, ia sedikit memperlambat langkah, seraya menaikkan handle tote bag yang sempat melorot dari bahunya. Dan seolah sadar dengan penampilannya yang saat itu terlihat aur-auran, ia pun menyempatkan membenahi penampilannya.

Dimulai dengan merapikan seragam putih abu-abunya yang berantakan, menyeka keringat yang membasahi dahi, juga nerapihkan kembali ikatan rambutnya. Setelah itu, ia membuang napas panjang, mencoba menetralkan kepanikan sekaligus mengatur moodnya, seolah bersiap menghadapi segala kemungkinan buruk yang akan terjadi akibat keterlambatannya pagi ini. Dengan perlahan tapi pasti, langkah kaki Gendis mulai membawanya melewati pintu masuk koperasi.

Tiga Puluh Satu Hari (with Ketos)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang