15

275 72 170
                                    

Hivi!-Musim Hujan

♡♡♡♡♡

Hujan bukan hanya tentang fenomena tetesan air langit yang turun ke bumi. Lebih dari itu. Selain simbol cinta dari langit kepada bumi, hujan juga selalu membawa sejuta makna dan cerita yang berbeda untuk setiap manusia.

Ada cerita tentang luka, kerinduan, bahkan mungkin cinta pertama yang mampu membawa kenangan mendalam bagi sang empunya cerita.

Dan menyoal tentang cinta pertama, ada ungkapan yang menyebutkan cinta pertama seperti hujan, selalu segar. Ungkapan itu tentunya mewakili perasaan bahagia bagi sebagian orang yang sedang merasakan indahnya cinta pertama.

Tetesan air yang seharusnya terasa dingin saat menyapa kulit, bisa berubah menjadi sebuah kesegaran jika diiringi dengan perasaan cinta yang mulai mengetuk dua hati anak manusia. Mungkin karena hujan sering kali mendatangkan suasana romantis di beberapa kesempatan bagi mereka yang sedang jatuh cinta.

Persis seperti suasana saat itu, di kala sepasang remaja dengan seragam putih abu-abu, berjalan beriringan di bawah payung kecil berwarna-warni di tengah guyuran hujan, yang mau tak mau mengikis jarak mereka menjadi dekat, di tengah kesunyian canggung di antara keduanya. Rasa canggung yang mungkin hadir karena benih-benih ketertarikan satu sama lain yang belum bisa mereka cerna dan jelaskan.

Gendis memeluk dirinya sendiri dengan satu tangan yang memegangi kantong kresek hitam berisi rok kotornya. Di pinggangnya masih terikat flannel dari Lukas yang menutupi rok mini hasil pinjamannya.

Pandangannya lurus kedepan, namun penuh kegelisahan. Kakinya terus melangkah seirama dengan langkah pelan kaki Lukas yang berada di samping kirinya. Sementara tangan kanan Lukas setia memegangi gagang payung yang melindungi keduanya dari derasnya tetesan air hujan. Matanya pun sesekali mengamati gadis di sebelahnya yang tak kunjung bersuara.

"Ciee...romantis banget sih ujan-ujan jalan berduaan. Sepayung berdua lagi. Awas nanti jatuh cinta loh..."

Entah mengapa, ledekan Amel sebelum keduanya pergi meninggalkan kosan, melekat di otak Gendis yang menyebabkannya kini mati gaya. Bahkan kehilangan kata untuk sekedar membuka obrolan atau cerita.

Sementara Lukas yang lebih peka dengan keheningan keduanya pun berinisiatif mencoba mencairkan suasana. Dengan iseng ia mencipratkan air hujan ke wajah Gendis, yang ia peroleh dari tengadahan tangan kirinya di bawah pinggiran payung.

"Heh, bengong aja. Tar Kesambet lho," ujarnya, dilanjut dengan kekehan saat melihat Gendis mengerjap kaget.

"Ck. Apaan sih? Basah muka gue!" Gendis berdecak kesal sembari melirik wajah Lukas yang justru malah tersenyum senang.

"Gara-gara lo nih yang ngedadak rajin, jadi hujan deh."

"Gue lagi disalahin," Gendis menjeda kalimat dengan bibir yang mengerucut. "Heh, ketua osis... sekarang itu emang lagi bulan-bulannya musim hujan. Jadi gak ada hubungannya perubahan gue sama hujan hari ini, ya." sungut Gendis sembari mengelap pipi dengan punggung tangannya, dengan wajah kesalnya.

Tiga Puluh Satu Hari (with Ketos)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang